NILAI-NILAI BUDAYA POLITIK DALAM MITOS TO-MANURUNG DI SULAWESI SELATAN

Oleh : Heddy Shri Ahimsa-Putra
Reviewer : Syahyunan Pora

Sebagai pembuka dalam mengulas dan meninjau sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra ini, hal yang sama akan saya tanyakan; Apakah Nilai-nilai Budaya yang terdapat dalam Masyarakat Sulawesi Selatan juga berkenan dengan aktivitas Politik Masyarakat setempat?. Oleh karena pendekatan sang penulis menggunakan pisau analisis strukturalisnya Levi Strauss juga pendekatan hermeunetik untuk menguak filsafat tersembunyi dari mitos atau cerita legenda yang ada di tengah-tengah masyarakat bugis makasar. Maka bisa dikatakan merupakan sesuatu yang khas dalam menganalisis Mitos yang tidak hanya pada konteks To-Manurung, melainkan mitos-mitos lain yang juga sebenarnya mempunyai Pemaparan awal dalam artikel ini penulis mendeskripsikan berbagai hubungan kehidupan sosial masyarakat Sulawesi Selatan umumnya dengan seperangkat nilai-nilai budaya yang secara individu maupun kolektif terlibat dalam sebuah “permainan” yang tak jarang disarati dengan intrik politik maupun konflik yang kerap mewarnai kehidupan Masyarakat yang ada pada kedua suku tersebutDengan menganalisis ala strukturalis penulis sebenarnya ingin menyampaikan bahwa kebijakan atau wewengan politik kekuasaan mempunyai kemampuan untuk membuat individu atau kelompok dapat melakukan apa yang dikehendaki. Secara keseluruhan pada bab pengantar penulis mengarahkan tentang wajah politik dewasa ini yang memberikan perspektif baru ketika konteks pemekaran daerah dapat merubah segala bentuk kehidupan masyarakat suatu daerah yang pada konteks “local Wisdom” telah memuat nilai-nilai kebersamaan itu. Dalam kerangka Teori penulis mengajukan betapa pentingnya nilai sebagai tolak ukur dalam menyelami relatifnya budaya, termasuk mitos to-manurung yang terkenal di dua suku besar di Sulawesi Selatan, Bugis-Makasar. Sehingga budaya dalam analisis struktutalnya, mitos ataupun cerita rakyat kerap dijadikan sebagai objek material oleh penulis untuk mengangkat karakter maupun ciri kehidupan sosial budaya suatu masyarakat. Penulis menggunakan pendekatan struktural sebagai pisau analisis untuk melihat relevansi mitos dengan kehidupan masyarakat.. 
Edmund Leach menyatakan bahwa para ahli antropologi sosial umumnya memandang “struktur sosial merupakan sesuatu yang ‘eksis’ pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan nyata-nya kerangka manusia atau saling-ketergantungan berbagai organ dalam anatomi manusia…”. Sedangkan Levi-Strauss, menurut Leach, melihat struktur “bukanlah perwujudan nyata yang dapat diamati secara langsung, melainkan penataan logis seperangkat persamaan matematis yang dapat ditunjukan sebagai ekuivalen untuk fenomena yang ditelaah” (dalam Kaplan dan Manners, 2002: 237).
Disamping kajian mitos dan nilai budaya yang terdapat dalam artikel ini didekati dengan hermeunetika kebudayaan yang sebenarnya memandang kebudayaan sebagai “teks” (hal3) sehingga ada beberapa alasan penting yang dikemukakan oleh penulis mengapa Mitos atau cerita Rakyat adalah media yang tepat untuk mengukur sejauh mana apresiatifnya masyarakat setempat dalam memegang nilai-nilai mitos atau cerita rakyat itu sebagai pedoman keseharian mereka, termasuk dalam konteks politik yang marak dengan trik dan intrik.
Alasannya Sbb:
1. Mitos merupakan unsur budaya yang memandang kebudayaan sebagai “teks” walaupun mitos tidak selalu dalam bentuk manuskrip yang tertulis.
2. Mitos merupakan unsur yang muncul dalam masyarakat tanpa diketahui siapa pembuat atau pemulanya.
3. selain mitos adalah kisah-kisah yang bersifat sosial mitos juga produk aktif.
Dalam metodologi penulisan artikel ilmiah ini, penulis juga menyertakan alasan kenapa mitos To-manurung menjadi pilihan untuk disingkap nilai-nilai politiknya. Selain karena mitos ini lebih terkenal dalam kebudayaan Bugis-Makasar, mitos ini juga dianggap mitos yang paling panjang dalam menginformasikan sistem politik dan pemerintahan meskipun dalam tatanan yang masih bersifat tradisional.
Penulis mensinyalir dengan mitos to-manurung ini kita dapat memahami dinamika politik yang hingga kini masih berlaku dalam budaya lokal setempat. Termasuk masih relevan dengan reformasi politik dan pemerintahan yang mencuatkan wacana otonomi daerah dengan pemekaran daerah sebagai garda depannya.
Dalam metode pengumpulan data penulis berupaya mengumpulkan data tentang relevansi mitos To-Manurung dari catatan seorang Belanda dengan judul (de inlandsche rechtsgemenschapeen in de onderafdeeling) atau diterjemahkan dengan “komunitas Adat Pribumi di onderafdeeling Bantaeng”. Metode Analisis yang dipakai yaitu dengan pendekatan struktural Hermeunetik dalam penekanan tafsir didalamanya. Sebisa mungkin mitos dianalisis hingga ke unitnya yang terkecil agar dapat menuai sebuah nilai budaya tertentu. Nilai budaya politik kemudian dianalisis dari cerita yang terpapar dari kisah mitos to-manurung menurut versi Bantaeng
“….To-Manurung pergi mengembara dan tempat yang ia kunjungi atau lewati, yang semula berupa laut berubah menjadi daratan. Berturut-turut ia mengunjungi mangepong, Karatuwang, Bontosunggu dan LindulaE yang ketiga-tiganya masuk dalam wilayah bisampole. Sampai akhirnya ia memilih Bisampole sebagai tempat tinggal. Penduduk membangun sebuah rumah besar untuknya yang dia tinggali bersama pole, seorang laki-laki dari Karatuwang yang telah mengikutinya hingga ke Bisampole. Dengan didampingi oleh Pole To-Manurung ini setiap hari menerima laporan dari 12 orang yang merupakan orang-orang terpilih dari penduduk, dan mereka ini disebut to-mangada…” .
Saya mengutip pembukanya saja, sebagai pengantar untuk menafsir secara miteme dimana simbol to-manurung adalah sebuah keberkahan tidak hanya bagi warga setempat melainkan dimana tempat yang ia singgahi akan memberikan kemakmuran yang dalam analisis penulis sebagai sebuah kesuburan dalam bercocok tanam. Ada rasa timbal balik yang saling mengikat dari cara pandang masyarakat setempat terhadap to-manurung .
Setiap daerah yang dikunjunginya menjadi representasi wilayah kekuasaan yang pada gilirannya tercipta sebuah infarstruktur sistem politik sebagai simbol perwakilan, yang dalam konteks politik kekinian bisa dianalogikan dengan badan legilatif yang mengakomodir aspirasi rakyat. Selebihnya kisah mitos to-manurung diatas adalah local wisdom-nya politik tradisional yang terdapat dalam kultur masyarakat Bugis-Makasar. Ada pembagian wilayah kekuasaan, penyerahan wewenang yang selaku dipercaya sebagai wakil mereka, dan kepercayaan terhadap pemimpin yang aspiratif. Dalam to-manurung juga menyiratkan praktik demokrasi yang mulai diterapkan meski dalam tataran yang masih sangat tradisional. Ada pelimpahan tugas/wewenang dengan kriteria yang ditentukan termasuk dengan aturan mainnya yang sendiri pula untuk menentukan secara prosedural yang sekiranya dianggap tepat untuk dijadikan sebagai pejabat.
Dan karena pada ranah politik maka birokrasi merupakan sisi lain dari hadirnya sebuah kekuasaan. Saya menilai dengan sudut pandang saya yang bisa saja keliru bahwa mitos to-manurung menjadi tertarik terutama oleh penulis oleh karena dianalisis dengan “jendela” hermeneutik kebudayaan, dimana konstruksi sosial dalam budaya sangat jelas bila mitos dijadikan sebagai objek kajian untuk menelaah tidak hanya pada aspek budaya dan sosialnya melainkan politik pun termasuk didalamnya. Intinya pada nilai mitos To-Manurung berpaut berbagai nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang “sophisticated” jika ke-tradisionalannya menjadi sebuah perbandingan terhadap cermin praktik perpolitikan dewasa ini khususnya di Indonesia. Pertanyaannya kemudian; Apakah nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang dapat merekatkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak hanya bersandar pada kebudayaan tertentu saja? Ataukah pada mitos tersebut bingkai ke Indonesiaan belum menjadi sebuah sintesis terhadap nilai-nilai politik yang terkandung dalam mitos to-manurung.
Ulasan
Menggali sebuah nilai mitos yang terdapat pada kebudayaan tertentu dengan harapan menuai kerangka sebuah nilai falsafah berbangsa dan bernegara akan lebih menarik jika diikursertakan dengan membanding pada kasuistik yang sama namun pada ranah daerah yang berbeda. Mengingat begitu banyak muatan nilai-nilai lokal budaya Indonesia yang tersebar dihampir seluruh penjuru Nusantara dengan ragam mitos maupun legenda cerita rakyat yang ada sekiranya dapat memberikan sumbangan pemikiran yang kaya akan betapa lengkapnya pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang terdapat pada masing-masing kebudayaan daerah. Nilai resprositas, nilai kebersamaan, nilai perwakilan serta nilai kesepakatan pada hampir semua mitos yang ada dan tersebar di Seluruh Indonesia mempunyai keterikatan antara satu dengan yang lainnya.
Meskipun pada konteks cerita mitos yang dikandung memuat alur cerita yang berbeda adanya. Saya berasumsi objek kajian yang ditelaah oleh penulis pada artikel “Nilai-nilai budaya politik dalam mitos to-manurung di Sulawesi Selatan” ini memang sengaja di khususkan oleh penulis dengan tidak menggunakan perbandingan dengan konsep nilai-nilai politik yang ada pada kebudayaan ataupun mitos pada daerah lain di Indonesia. Selain lebih fokus dan tidak akan meluas dengan berbagai tafsiran simbol-simbol yang ada, dalam menaganalisis mitos ini pun aspek bahasa tidak seruwet dengan mitos-mitos dalam kebudayaan Jawa, yang tidak bisa tidak harus dianalisis dengan beragam artifak bahasa jawa yang memang mempunyai tingkatannya sendiri-sendiri. Apalagi bersinggungan dengan cara tafsir ala hermeunetik kebudayaan. Sebagai contoh pada kebudayaan jawa menjelaskan “kekuasaan” akan selalu berimplikasi pada makna yang lebih luas. Dan ini kerap diikutkan dengan simbol maupun bahasa sebagai teks. Berbeda dengan (mungkin) pada kebudayaan diluar jawa yang cenderung tanpa “tedeng aling-aling” mengkosntruksi simbol sesuai dengan adanya simbol tersebut. Sederhananya dari simbol tersebut dapat diminimalisir aspek tingkatan bahasa yang pada kebudayaan jawa mempunyai kandungan nilai yang sarat akan makna-makna.
Dari sisi objektifitas artikel ini saya menilai mempunyai kelebihan tersendiri sebab bukan ditulis atau diteliti oleh penulis yang berangkat dari kultur dua etnik besar yang itu Bugis-Makasar. Sehingga faktor subjektifitasnya dapat diminimalisir sekecil mungkin. Rasa apresiatif saya terhadap penulis artikel ini, Bpk Heddy Shri Ahimsa-Putra dengan analisis struktural serta hermeneutiknya yang tajam memberikan semacam spirit untuk melakukan hal yang sama, namun pada konteks budaya yang berbeda. Apalagi dengan bertebarannya nilai-nilai budaya yang terdapat diberbagai wilayah Indonesia masih banyak sekali membutuhkan sentuhan analisis dengan berbagai macam metode sehingga nilai-nilai Local Wisdom dapat diungkap sebagai antitesis terhadap budaya barat yang serba permisif yang beberapa dekade belakangan ini tanpa disadari mereduksi budaya adiluhung Bangsa Indonesia. Dengan demikian muatan filsafat nusantara yang digadang-gadang oleh Fakultas Filsafat UGM tidak hanya menjadi sesuatu yang utopis atau hanya mewacana pada mitologi Yunani Kuno sementara pada artifak mitologi bangsa sendiri bertebaran banyak nilai-nilai falsafah nusantara yang menanti untuk diaktualisasikan secara nyata.


Yunan_Syahpora

What to say about me? I have wonderful friends.I am passionate about teaching and creative expression.In my spare time, I read a lot of Interest Book, love TV, IT gossip, movies and most of all is football. I'm blessed with an amazing family and close friends.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama