Oleh Syahyunan Pora
Jean-Paul Sartre adalah seorang anak tampan dengan rambut keemasan yang cenderung panjang, namun berbeda dengan perjalanan hidupnya yang begitu singkat. Suatu hari kakeknya membawanya ke tukang cukur, yang pada masa itu ia dianggap jelek oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Menyadari akan hal ini Sartre pada usia yang sangat dini mulai menggunakan intelegensinya untuk menarik lawan jenisnya. Saat itulah periode awal dalam kehidupannya dimana sartre mulai berkenalan dengan setiap perempuan yang juga turut mengasah keromantisan cinta seorang sartre dalam kehidupan percintaanya. Jean Paul Sartre (1905-1980) terlampau menganggap dirinya sebagai "Don Juan Intelek yang dapat mematikan perempuan dengan kekuatan lidah emasnya." (Jean-Paul Sartre, War Diaries: Notebooks from a Phoney War, November 1939-March 1940, trans. Quinton Hoare (Verso, 1999) 266.) Ia seorang perayu dan gemar terhadap seni merayu bahkan sangat menyukai rayuan dengan mempermainan kata-kata. : "Saya tidak terlalu tertarik pada wanita, ketimbang sandiwara mereka lalu diberilah kesempatan itu kepada saya untuk….. Menempatkan mereka pada posisi yang semestinya ketimbang menghitung-hitung peluang untuk memilikinya. "( Ibid., 284.) Menaklukan adalah hal yang mudah tetapi mengumbar rayuan adalah satu hal yang menguras, demikian ungkap sartre.
“…Sekembalinya diri saya dari tiap perjamuan , mulut saya terasa kering, otot wajah saya begitu lelah sebab terlalu banyak senyum , sisa-sisa suara masih terdengar dengan penuh cinta kasih yang menjijikan tanpa berkeinginan sedikitpun untuk menarik perhatian dengan berkedok telah merasa puas oleh karena telah mengambil untung dari setiap urusan saya….." ( Ibid., 285.)
Walaupun demikian, Sartre pun menginginkan sebuah hubungan yang mendalam,penuh kelembutan dan bermakna, "... sesuatu yang tidak selalu terikat pada kehidupan seks, dimana setiap moment itu dapat menjadikan diri kita menjadi pribadi- pribadi yang tersendiri bahkan hingga ke kedalaman pribadi yang terdalam “ (Catherine Chaine, "A Conversation About Sex and Women with Jean-Paul Sartre," Playboy January 1978: 116.) Sartre tahu ia kelak akan menjadi orang yang besar dengan pemikiran-pemikiran besar yang tidak boleh dibatasi oleh konsep borjuis monogami (Sartre, War Diaries: Notebooks from a Phoney War, November 1939-March 1940 75) Kebebasan adalah sangat penting baginya,. Sehingga ia menawarkan semua pacarnya bak karunia suci yang berharga dari tiap kebebasan untuk bermonogami. Para setiap gadis yang mula-mula ia kencani telah menemani kebersamaannya dengan waktu yang cukup lama, namun dengan berkah suci kebebasan yang ia tawarkan itu, umumnya tak diinginkan oleh mereka. Setelah beberapa saat mereka berlalu dalam kehidupannya, Sartre pun pergi beralih ke wanita muda berikutnya. Begitulah Sartre, sampai akhirnya tahun 1929 ketika ia bertemu dengan mahasiswa filsafat lainnya yang masih muda dan cerdas cendekia Simone de Beauvoir di Sorbonne yang menerima pakta kebebasan itu yang ia tawarkan:. Mereka pun akhirnya jatuh cinta, mereka saling terinspirasi dan menantang satu sama lain selama sisa hidup mereka. Sartre berpikir hubungannya dengan Beauvoir inilah, adalah hubungannya yang terbaik, komplit dan saling melengkapi serta sejajar. Belum pernah hubungan ini, ia lakukan dengan siapapun juga sebelumnya. Ini bukan hubungan tentang seks atau keintiman melulu, namun lebih pada diskusi ilmiah dan debat intelektual serta obrolan mengenai putusan-putusan penting dalam hidup mereka kelak (Chaine, "A Conversation About Sex and Women with Jean-Paul Sartre," 118.) Pada Sisi fisik hubungannya dengan Simone De Beauvoir ini, ternyata hubungan mereka tidak berlangsung lama oleh karena Sartre lebih suka pada seks. Diantara beberapa teman-teman dekatnya mengira bahwa Beauvoir menyetujui pakta tersebut, dikarenakan Sartre tidak dapat memberi keintiman yang diinginkan olehnya (E.g. Edward Fullbrook and Kate Fullbrook, Sex and Philosophy: Rethinking De Beauvoir and Sartre (London and New York: Continuum, 2008). Mereka sepakat untuk menjadi pecinta primer dan bebas untuk memiliki beberapa kekasih secara kontingen atau kekasih sekunder. Mereka juga berusaha untuk mengatasi resiko cemburu dengan yang lain melalui pakta kebebasan secara "transparan" (saling menceritakan segala hal yang satu sama lain alami) - dan “aku” itu adalah berarti bagi segalanya!. Namun kemudian mereka pun menyadari bahwa kebenaran sering menyakiti orang-orang yang mereka cintai sehingga meskipun mereka saling menceritakan kebenaran-kebenaran yang lain kepada orang lain, namun ternyata mereka berdua berbohong pada kekasih lain mereka, dan itu hanya untuk melindungi hubungan mereka dengan cara yang tak benar. (Bersambung)
Tags:
Filsafat Tubuh