Syahyunan Pora
Pengantar
Berbagai
“aksi massa” yang terjadi di beberapa daerah di tanah air kita akhir-akhir ini,
dengan beragam persoalan yang dilatari oleh masalah yang awalnya sepele seperti
tawuran pelajar, tawuran antar kelompok organisasi massa, soal perkelahian
antar kampung hingga aksi anarkis berdimensi agama yang telah memakan korban, seolah menggambarkan
identitas dan karakteristik budaya ketimuran kita kini sudah pudar dengan nilai
sopan santun dan tepa seliranya. Semakin hari aksi-aksi ini menunjukan eskalasi
peningkatan secara signifikan bahkan hampir merata diseluruh Indonesia dengan
motif konflik yang hampir seragam. Demokrasi pancasila dengan nilai-nilai luhur
yang diamanatkan oleh UUD 45 seolah tidak mampu meredam gejolak konflik hingga
berujung pada tindakan anarkisme massa, yang dampaknya mengancam ketentraman
dan kenyamanan hidup bersama bagi sesama anak bangsa.
Acap kali kecenderungan
tindakan anarkis dalam setiap aksi massa ini, saling diperhadapkan oleh alat
Negara dengan melibatkan masyarakat secara luas, cenderung vandalis bahkan secara terang-terangan dengan keyakinan dan
pembenaran dalam setiap aksi yang dilakukan.
Melihat kondisi yang tidak menguntungkan untuk kehidupan berbangsa dan
bernegara ini, idealnya reformasi harus memberikan sebuah perubahan yang lebih
baik , namun ternyata kenyataan itu berbalik arah dengan harapan perubahan yang
dicita-citakan.
Berbagai krisis bangsa yang dihadapi, diantaranya krisis
moral, krisis kejiwaan, maupun krisis nurani, juga peri kehidupan yang semakin
bersifat bendawi tanpa kedalaman makna. Begitupun
dengan peri kehidupan politik, hukum, dan ekonomi tumbuh dan berkembang tanpa
substansi. Sistem demokrasi cenderung hanya diselenggarakan secara prosedural,
peradilan hanya dilakukan untuk menghasilkan keadilan formal, para penegak
hukum hanya menegakkan peraturan, bukan keadilan, dan dunia usaha juga hanya
berorientasi pada hak dan keuntungan materi yang bersifat instan dan berjangka
pendek[1].
Sejak
reformasi 1998 sebagai respons terhadap krisis multi dimensi yang terjadi pada
tahun 1997-1998, berbagai upaya di semua sektor telah dilakukan terutama oleh
negara. Reformasi menyeluruh yang dilakukan, di samping membawa dampak positif
yang menguntungkan dan menggembirakan, tidak dapat disangkal pun turut mendekonstruksi
seluruh unsur dan aspek dalam kehidupan bernegara maupun berbangsa. sehingga
tanpa disadari telah menyebabkan pula terjadinya keadaan anomie dan anomali di
semua sektor kehidupan. Melihat kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang seolah
begitu mudah cepat naik pitam dengan persoalan-persoalan hidup yang dihadapi. Dari
krisis moral anak bangsa dan perilaku aparatur negara yang begitu mudah
melakukan praktik-praktik korupsi-kolusi dan nepotisme memberikan gambaran
kepada kita bahwa arah dan tujuan bangsa
kita telah hilang kendali dengan landasan nilai-nilai pancasila seperti yang diamanatkan
oleh UUD 1945.
Pada
hakikatnya sebagai dasar negara, Pancasila merupakan perjanjian luhur dan
konsensus nasional yang mengikat seluruh bangsa. Dalam falsafah dan ideologi
negara terkandung ciri keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan
kemanusiaan (humanisme religius). Nilai-nilai tersebut tercermin dalam hubungan
individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan
kemakmuran. Cita-cita nasional dan falsafah bangsa yang ideal itu perlu
ditransformasikan ke dalam visi nasional dan karakter yang dapat diwujudkan ke
dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam
kaitan ini diperlukan revitalisasi visi dan karakter bangsa. Visi nasional dan
karakter bangsa dalam rentang lima tahun ke depan perlu diarahkan pada
tercapainya (1) penguatan nilai dan
kultur demokrasi, (2) terciptanya ketahanan ekonomi nasional, serta (3)
penguatan nilai-nilai dan kepribadian bangsa yang kokoh. Revitalisasi visi dan
karakter bangsa lima tahun ke depan tersebut diproyeksikan untuk mewujudkan
Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan
bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain[2].
Reformulasi
visi kebangsaan atau revitalisasi nilai-nilai kemanusiaan pada era setelah
tumbangnya orde baru kini dirasa sebagai sesuatu yang mendesak, agar prioritas
pembangunan menjadi jelas dan terarah dengan tidak menafikan peran pengganti
dari visi dan misi presiden terpilih. Seperti layaknya Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu.
GBHN ini juga ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Dengan adanya
Amandemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak
berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU no. 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya
Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam
bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian
dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan
dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari
presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus
menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional. GBHN
ini master plan Indonesia untuk 5
(lima tahunan) yang akan dijabarkan oleh presiden selaku penyelenggara
pemerintahan, itu dulu! Namun kini, digantikan dengan visi-misi calon presiden
dan wakil presiden, program 100 hari, program 5 (lima) tahun.
GBHN adalah program yang disusun oleh wakil-wakil
rakyat ditambah utusan daerah, utusan golongan, dan tidak lupa waktu itu ABRI. Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara
dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh
dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Lalu
penjabaran rencana pembangunannya di tuangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) yang disemangati dengan Trilogi Pembangunan dalam pelaksanaannya.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang digunakan di era Orde Baru, diakui
cukup terperinci dalam mengarahkan pembangunan negara dengan rencana-rencana
pembangunannya yang berciri khas negara agraris.
Melihat itu, ada upaya kembali memformulasikan
GBHN menjadi haluan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Ganjar Pranowo mengatakan,
“Reformulasi Model Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN): Mewujudkan sistem
perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat" dianggap sangat penting untuk diangkat karena memang
menjadi salah satu isu yang dibicarakan dalam berbagai kesempatan dan menjadi
salah satu dari banyak aspirasi yang disampaikan oleh berbagai elemen
masyarakat kepada MPR," dengan kondisi yang ada sekarang, model GBHN
kiranya perlu direformulasi untuk disesuaikan dengan kepentingan masyarakat
banyak.[3]
Artinya arah pembangunan tidak lagi mengacu ke
arah politik melainkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, arah
kebijakan perencanaan pembangunan nasional semestinya ditetapkan oleh wakil
rakyat dan daerah yang duduk dalam lembaga perwakilan, yang proses
penyusunannya harus melibatkan seluruh komponen dan kekuatan bangsa. Semenjak UUD
1945 hasil Amandemen kesatu sampai dengan keempat telah mengamanatkan beberapa
perubahan yang fundamental dan bersifat mendasar didalam kehidupan bangsa
bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan ini
bersifat drastis dan dalam tempo yang berbarengan. Beberapa perubahan mendasar
tersebut antara lain: (1) Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh
rakyat dalam satu paket, (2) MPR terdiri dari anggota DPD dan DPR, (3) Jabatan
presiden dan wakil presiden bersifat tetap waktu (fixed term), sehingga tidak
bisa diberhentikan kecuali melanggar hukum, dan (4) MPR tidak lagi membuat
GBHN.
Ketiadaan GBHN merupakan konsekwensi logis dari
pemilihan presiden secara langsung. Sebab salah satu aspek penilaian terhadap
calon presiden adalah visi atau rencana atau program yang ditawarkannya dalam
upaya pemerintahannya mencapai cita-cita bangsa bernegara. Tawaran tersebut
harus dapat diwujudkannya pada masa jabatannya. Apabila tidak, maka yang
bersangkutan akan dianggap gagal, akibatnya dia tidak akan dipilih lagi oleh
rakyat untuk jabatan berikutnya. Dengan demikian pembuatan rencana atau proses
perencanaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa bernegara dimulai semenjak
seseorang mencalonkan dirinya menjadi presiden. Kemudian dijabarkannya setelah
yang bersangkutan memenangi pemilu, serta dilaksanakannya, dan senantiasa
dievaluasi serta dipertanggung jawabkan kepada rakyat pemilihnya, selaku
pemegang kedaulatan tertinggi. Wewenang Haluan Negara menjadi tanggung jawab
Presiden terpilih dengan program Diskursus untuk
menghidupkan kembali GBHN didasari situasi dan kondisi pembangunan nasional
saat ini lahir dari kegelisahan akan kondisi pembangunan saat ini dan
kekhawatiran akan prediksi-prediksi perekonomian nasional ke depan yang harus
bersaing dalam arena ekonomi global. “Dalam kerangka kondisi yang
mengkhawatirkan itulah visi kepala pemerintahan sebagai sebuah haluan
pembangunan layak dipertanyakan. Dan jika terjadi pergantian Presiden arah dari pembangunan tidak harus kembali dirubah oleh presiden terpilih. Kepemimpinan sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat
menentukan keberhasilan
suatu organisasi ataupun pembangunan secara keseluruhan. Kepemimpinan yang baik dapat mengakibatkan manajemen yang tepat dan berhasilnya pelaksanaan tugas.
1. Manusia Indonesia
Seutuhnya Sebagai Pilar Pembangunan Bangsa dan Negara.
Di
Indonesia dikenal pengertian manusia seutuhnya. Menurut Pedoman dan Penghayatan
Pancasila, setiap manusia mempunyai keinginan untuk mempertahankan hidup, dan
menjaga kehidupan yang lebih baik. Ini merupakan naluri yang paling kuat dalam
diri manusia. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan Negara memberikan
pedoman bahwa kebahagiaan hidup manusia itu akan tercapai apabila kehidupan
manusia itu diselaraskan dan keseimbangan, baik hidup manusia sebagai pribadi,
dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam,
dalam hubungan manusia dengan bangsa, dan dalam hubungan manusia dengan
Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rokhaniah. Pancasila
menempatkan manusia dakam keseluruhan harkat dan martabatnya mahluk Tuhan Yang
Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik tolak dari usaha kita untuk memahami
manusia itu sendiri, manusia dan masyarakatnya, dan manusia dengan segenap
lingkungan hidupnya.
Adapun
manusia yang kita pahami bukanlah manusia yang luar biasa, melainkan manusia
yang disamping memiliki kekuatan juga manusia yang dilekati dengan
kelemahan-kelemahan, manusia yang disamping memiliki kemampuan-kemampuan juga
mempunyai keterbatasan-keterbatasan, manusia yang disamping mempunyai
sifat-sifat yang baik mempunyai sifat-sifat yang kurang baik. Manusia yang
hendak kita pahami bukanlah manusia yang kita tempatkan di luar batas kemampuan
dan kelayakan manusia tadi. Manusia sebagai mahluk Tuhan adalah mahluk pribadi,
sekaligus mahluk social. Sifat kodrati manusia sebagai individu dan sekaligus
sebagai mahluk sosial merupakan kesatuan bulat. Perlu dikembangkan secara
seimbang, selaras dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti
dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia hanya mempunyai
arti dan dapat hidup secara layak diantara manusia lainnya.
Tanpa
ada manusia lainnya atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat
menyeenggararakan hidupnya dengan baik. Mengelaborasi visi dan misi presiden terpilih dengan
menekankan pada reformasi dibidang hukum semisal pemberantasan korupsi rupanya
belum menuai hasil yang memuaskan, sebab para penegak hukumpun kadang terjebak
bahkan berperan sebagai mafia peradilan. Ini mengindikasikan bahwa pembangunan
yang menitik-beratkan pada aspek-aspek sosial maupun hukum tidak akan berjalan
dengan baik jika tidak ditunjang oleh orang-orang yang bersih. Se-ideal apapun
program pemerintah atau sistem kenegaraan yang dibangun tidak akan berhasil
jika tidak memiliki integritas moral selayaknya moralitas manusia seutuhnya
yang menjadi konsep idealnya di pancasila dan UUD 1945. Manusia sebagai insan
pembangunan harus selalu sadar akan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang
ditetapkan dalam UUD 1945, serta mendahulukan kewajiban daripada haknya sebagai
warga negara.
Demikian
pula, manusia yang ingin diwujudkan adalah yang lebih mementingkan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadi atau golongan, atas dasar kebersamaan dan semangat
kesetiakawanan, serta senantiasa mempertimbangkan lingkungan sosial
masyarakatnya. Bangsa
ini lebih memilih menjadi bangsa yang memenuhi sisi-sisi di dalam pikirannya
dengan nilai-nilai pragmatisme daripada “kolektivisme” yang tak membawa
keuntungan. “ Engkau ada karena kau berguna, aku ada karena melihat ada yang
berguna.”
2.
Mengedepankan
Moralitas Aparatur Dan Penekanan
Terhadap Sikap Etis Pemimpin.
Keniscayaan
globalisasi dan dampak modernisasi yang seolah memendekan ruang dan jarak, acap
kali melahirkan Nilai-nilai pragmatisme yang kemudian memupuskan kuncup-kuncup
moral yang sebelumnya menjadi bagian keseharian hidup manusia Indonesia. Bangsa
ini tak lagi mau dan tak mampu berkembang dengan kebaikan, dan itu telah
menjadi bagian dari sekian pilihan yang dipilihnya.
Seolah
menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang brutal dan tak bermoral.
Di sini pekerjaan, jabatan, golongan, kekayaan, kebijakan, dan kekuasaan,
dengan bermacam relasi sosialnya tak akan lepas dengan negatifitas
penjelmaannya. Bangsa ini tak malu lagi bila menyingkirkan nilai-nilai
kejujuran dan kebaikan di dalam lubuk hatinya yang dalam sekalipun, dan diganti
dengan segala kepicikan dan kepura-puraan. Bangsa ini menjadi bangsa yang tak
lagi mau mengerti arti penting kesopanan dan keramahan, dan arti penting
kebaikan dan kejujuran. Mereka, manusia-manusia Indonesia tak lagi peduli jika
kemajuan yang telah mereka peroleh itu berlumur dengan darah dan kotoran.
Keberadaban dan kebudayaan mereka lebih suka dinilai dari satu tolak ukur
dengan standar minimal—Indonesia hanya berisi manusia-manusia “enggan”.
Ironisnya,
dengan standar minimal ini mereka menjadi bangga, dan dengan segera menafikkan
ada standar yang lebih baik untuk bisa dicapai. Dan hal dengan melihat bahwa
standar budaya bangsa itu baik bila perilaku mereka mencerminkan kebaikan dan
nilai-nilai kejujuran universal yang diakui bersama. Sedangkan, titik tolak
untuk melihat bangsa itu beradab adalah dengan melihat kesopanan dan kesantunan
yang dimilikinya. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang memiliki unggah-ungguh
dalam berperilaku. Arti penting jika sebuah bangsa menjadi bangsa yang
berbudaya dengan menjunjung kebaikan dan kejujuran, atau menjadi bangsa beradab
dengan mengamalkan kesopanan dan kesantunan adalah sebagai bentuk
pengaktualisasian diri. Aktualisasi diri sebagai diri sendiri, dengan jatidiri
“kemanusiaannya”. Dengan kata lain, bangsa yang berbudaya dan beradab adalah
bangsa yang di dalamnya terdapat manusia-manusia yang terdiri dari jiwa-raga
manusia seutuhnya.
3.
Memprioritaskan
Pendidikan Yang Berbasis Local Wisdom
Kearifan
Lokal mempunyai fungsi, mengatur interaksi kegiatan masyarakat atau
komunitas-nya, memperlakukan Alam sekitarnya, termasuk pola pergaulan yang arif
dan bijaksana. Mungkin pernah terbersit di dalam benak kita, "mengapa pada
zaman Nenek Moyang kita dahulu, jarang sekali terjadi atau bahkan tidak pernah
terjadi Bencana Alam?" yang disebababkan oleh ulah manusianya sendiri, dan
juga "mengapa jarang sekali terjadi
Perselisihan Antar Warga?". Jawabannya adalah; Kearifan Lokal-lah yang
menyebabkan jarangnya terjadi hal-hal buruk seperti itu. Hal ini dikarenakan,
Masyarakat Nusantara dengan Kearifan Lokal-nya, menjalani kehidupannya hari
demi hari.
Dimana
dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Kearifan Lokal Bangsa Indonesia,
membuat interaksi Manusia dengan Manusia, dan Manusia dengan Alam tampak begitu
saling menyayangi. Nilai-nilai "Kearifan Lokal Bangsa Indonesia"
digunakan oleh Nenek Moyang kita, karena mereka sadar, bahwa hidup ini
saling bertergantungan antara satu dan
lainnya, termasuk pada Alam sekitar. Sehingga Nenek Moyang kita pun selalu bercermin
pada hubungan Kearifan Lokal. Intinya, bagaimana Alam bisa memberikan yang
terbaik bagi manusia, jika manusia yang hidupnya tergantung pada Alam
tersebut, berlaku tidak baik kepada Alam
itu sendiri. Oleh karenanya, agar alam tidak murka, pola interaksi yang guyub
antar sesama Manusia, antar Manusia dengan Alam, harus terus dijaga berdasarkan
nilai-nilai Kearifan Lokal Bangsa Sendiri.
Memahami
"Kearifan Lokal" secara fungsional, maka sudah selayaknya, sebagai
Manusia, menggunakan Perasaan dan Akal Pikiran untuk hal-hal yang baik.
Penutup
GBHN
secara ideologis bertujuan sebagai wadah permusyawaratan rakyat yang membahas
rencana untuk lima tahun ke depan, suatu master plan yang tidak hanya dibahas
oleh tim sukses para capres ataupun cawapres, akan tetapi dibicarakan oleh
seluruh elemen rakyat melalui berbagai proses kanalisasi pemikiran kebangsaan,
politik, maupun ekonomi yang tersebar dalam Fraksi-fraksi yang ada di Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Arah dan tujuan Pembangunan
Nasional,yang dahulu tertuang dalam GBHN, sangat jelas tegas mengikat seorang
Presiden menjalankannya.
Pelanggaran atau tak dijalankannya GBHN seorang Presiden
dapat diberhentikan. Amandemen UUD 45 meniadakan GBHN, menjadikan Arah
Pembangunan Indonesia Tanpa Bentuk, bisa saja sekemampuan seorang presiden sesuai visi misinya dalam
kampanye bersama tim yang terdiri dari para menteri.
Pergantian
Presiden bisa saja berubah walau sebelumnya telah ada RPJM yang hanya lahir
dari keputusan Presiden tanpa persetujuan 7 lembaga. RPJM seharusnya disyahkan
sebagai kerangka arah tujuan pembangunan Jangka Panjang lewat Kelembagaan
Perwakilan Rakyat. RPJM (dalam istilah) bisa saja berbeda sesuai Visi Misi sang
Presiden, tak salah jika Soesilo Bambang Yudoyono melakukan politik pencitraan
dalam RPJM,sebab tak ada konsekwensi pemecatan produk buatannya.Jangan juga
para cerdik pandai berteriak tentang ekonomi Indonesia yang sudah tak
berbentuk,tak perlu lagi mereka protes atas kesewenangan investor atas tanah
rakyat.Bukankah Presiden bertanggung jawab pada Rakyat.”Rakyat yang mana?” inilah
hasil dari amandemen UUD 45 yang telah meniadakan GBHN dan MPR setara secara
kelembagaan.
Arah
Pembangunan Indonesia disegala bidang saat ini tanpa “kekuatan tetap”,karena
tak lahir dari sebuah perdebatan yang memberikan siratan mandat Rakyat untuk presiden
yang dipilihnya.Kita dulu menyebutkan Presiden sebagai pelaksana mandat dari
rakyat lewat MPR RI, hasil dari pemilihan umum.Amandemen UUD 45 telah
meniadakan “Kekuatan” MPR RI yang dulu sangat tinggi derajatnya. Presiden
sebagai kepala eksekutif par excellence berwenang menjalankan arah pembangunan
nasional sesuai dengan visi dan misinya dengan berpegangan pada UU. Namun
karena selama ini presiden dan wakil presiden adalah bayang-bayang partai
tertentu, maka visi dan misi pembangunan yang dijalankan justru terkesan
sebagai visi dan misi partainya. GBHN merupakan suatu
keniscayaan bagi upaya pembangunan nasional yang terencana dan
berkesinambungan. Pembangunan nasional kita perlukan untuk mengisi kemerdekaan
yang sudah kita rebut kembali dengan pengorbanan jiwa. Kita berencana
mengadakan pembangunan, karena kita tidak mau membiarkan perkembangan
masyarakat nasional berjalan sendiri secara alami.
Bukan
kita tidak percaya pada takdir Illahiah. Kita ingin mencampuri perjalanan
tersebut agar perkembangan masyarakat mewujudkan pertumbuhan seperti yang kita
cita-citakan. Sedangkan sebelum suatu masyarakat dapat secara efektif
mengintervensi perkembangannya sendiri, ia harus lebih dahulu membentuk suatu
subsistem yang khusus berfungsi menghasilkan keputusan kolektif yang mengikat.
Sejauh yang mengenai urusan pembangunan nasional tadi, subsistem itu berupa
rangkaian rencana pembangunan berkesinambungan yang ditransformasikan menjadi
GBHN.
Meskipun
demikian ada beberapa program pemerintah saat ini dalam melibatkan tokoh
masyarakat, agama, kaum cerdik-cendekia dengan menitik beratkan pada
penjaringan aspirasi dan gagasan semisal melalui Musrembang yang sebenarnya
cukup ideal dan efektif. Meski pada praktiknya kadang tidak berjalan dengan
maksimal, karena bagaimanapun juga ada tarik-menarik kepentingan akibat dari
perubahan sistem demokrasi yang ada, khususnya menyangkut dengan mekanisme
pemilihan kepala Negara. Padahal dengan kegiatan seperti itu masyarakat lebih
dilibatkan secara langsung dalam pengambilan kebijakan dan secara bersama-sama
mengawal program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
Namun
pengawasan melekat dan kontrol terhadap kinerja aparatur yang tidak dibarengi
oleh niat yang tulus dalam membangun hingga sebaik apapun program yang telah
dicanangkan oleh pemerintah menjadi tidak tepat sasaran. Apalagi di era
otonomisasi dewasa ini peran masyarakat lebih dituntut untuk pro aktif dalam
menyampaikan konsep dan gagasan yang tidak melulu didasarkan oleh kepentingan
golongan ataupun partai, sebab kecenderungan
mendahulukan kepentingan partai ataupun golongan menjadi kosekuensi
tersendiri dari bergesernya amanat pembangunan melalui GBHN ke visi-misi yang
dicanangkan oleh seorang presiden terpilih. Hal ini pun turut berimbas hingga
ke tingkat pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang lebih banyak memakan anggaran
negara dan juga tidak jarang menimbulkan kericuhan.
Pergeseran
arah dan tujuan rencana pembangunan Indonesia yang berkelanjutan, tidak bisa
dilepaskan oleh pentingnya pembangunan manusia Indonesia, sebab dengan memprioritaskan
pembangunan manusia Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD
45 akan menciptakan masyarakat yang berintegritas moral dan memiliki landasan
etis terhadap wawasan kebangsaan serta tanggap terhadap berbagai perubahan.
Dengan begini visi dan misi pembangunan dalam jangka menengah maupun jangka
panjang akan lebih fokus dengan memprioritaskan kepentingan negara dibandingkan
dengan kepentingan-kepentingan lainnya.
Tags:
Opini