Momentum Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 yang selalu diperingati setiap tahun juga identik dengan Bulan
Bahasa. Lebih terasa istimewa lagi, sebab pada butir ketiga dalam teks Sumpah
Pemuda, Bahasa yang dijunjung sebagai Bahasa persatuan adalah Bahasa Indonesia.
Pekik merdeka menjadi slogan heroik di berbagai daerah dengan satu tujuan mengangkat
harga diri Bangsa sebagai bangsa yang bermartabat
dimata dunia. Kaum muda kala itu hanya ingin terbebas dari belenggu penjajahan,
ingin berdaulat, serta ingin menyatukan rasa nasionalisme agar dapat berdikari dan
menjadi bangsa yang mandiri. Dalam catatan sejarah Sumpah Pemuda, Jong Ambonlah
yang terepresentasi sebagai “delegasi” Pemuda dari Maluku dengan Dokter J.
Leimena sebagai pembantu IV dalam Kongres ke II tahun 1928. Padahal dalam
rentang waktu antara 1607 hingga 1942 (Amal, 2010:342) kesadaran perlawanan
terhadap penjajah telah dikobarkan oleh Rakyat Maluku Utara sekitar 3 abad
lebih lamanya dengan berbagai epik sejarah pemberontakan, pengkhianatan hingga
persekutuan, termasuk ekspansi hingga ke kolonialisasi yang melibatkan Portugis,
Spanyol, Belanda, Inggris hingga Jepang, dengan melibatkan dua kerajaan besar
yaitu Ternate dan Tidore. Meski kedua Kerajaan tersebut menempuh jalan yang
berliku namun memiliki tujuan dan semangatnya
yang sama yaitu ingin lepas dari belenggu penjajah. Kesadaran pergerakan dalam
organisasi maupun syarikat kaum muda Maluku Utara sekitar tahun 1919 hingga
1920-an juga telah teretas pada waktu yang tidak jauh berselang seiring momentum
sumpah pemuda. Diantara tokoh pemuda sebagai pelaku sejarah dalam Kongres ke II
tahun 1928 yang cukup familiar dan mewakili Jong Celebes adalah Arnold
Mononutu, sebuah nama yang kemudian diabadikan sebagai nama Jalan di Kota
Ternate. Tentu tidak mengabaikan peran tokoh pergerakan kaum muda lainnya seperti Hasan Esa, Chasan Busoiri dan
lainnya yang belum banyak dikenal dan belum mendapat apresiasi serupa oleh
Pemerintah daerah kita nantinya.
Bahasa
Dan Revolusi Mental Yang Paradoks
Seiring pesatnya
kemajuan zaman dan laju perkembangan Tekhnologi, momentum peringatan Bulan bahasa menjadi
sasaran untuk merevitalisasi kembali kedudukan Bahasa Indonesia ditengah maraknya
kosa kata asing yang berseliweran ditengah kehidupan kita sehari-hari. Ancaman
tergerusnya Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi tidak hanya datang
dari luar tetapi juga dari dalam. Merebaknya bahasa Sosialita dalam jejaring
media sosial, istilah-istilah “alay” dalam kamus gaul remaja masa kini juga
terus meningkat seiring meningkatnya arus informasi melalui Tekhnologi yang
berbasis pada Smart Phone ataupun Gadget. Para pakar Bahasa pun turut bekerja
keras untuk mentransformasikan kosa kata dan “Bahasa” tekhnologi kedalam
istilah kosa kata Indonesia semisal unggah (upload), unduh (download), pindai
(Scan), seret dan tempel (Drag and Paste) serta Surat Elektronik (email) yang
mungkin masih terdengar asing di telinga kita. Kecintaan kita terhadap Bahasa Indonesia
mestinya didukung oleh pemangku kepentingan. Namun berbalik arah dengan
keputusan Presiden Jokowi dengan meniadakan tes Bahasa Indonesia bagi pekerja
asing dengan alasan untuk meningkatkan investasi (Kompas.com/21/8/15). Terasa
mencederai rasa kebangsaan kita. Seolah Bahasa Indonesia menjadi penghalang, jika para pekerja asing
yang ingin bekerja di Indonesia akhirnya batal hanya karena tidak mampu atau
gagal tes dalam menguasai Bahasa Indonesia. Keputusan tersebut dapat dikatakan mengkerdilkan posisi dan
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara bahkan mengebiri nilai-nilai
semangat nasionalisme dan merendahkan identitas kebangsaan kita. Pertanyaan
kemudian revolusi mental seperti apa yang ingin diharapakan oleh Bapak
Presiden, jika di “rumah” sendiri pun bahasa Indonesia terpinggirkan. Justru
pada kutub yang berbeda Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan disela sela lawatan
beberapa waktu yang lalu di Jakarta menunjukan sikap nasionalismenya dengan
menolak menggunakan bahasa Inggris, Erdogan menggunakan bahasa Turki saat
memberikan kuliah umum di Lemhanas. Sejalan dengan kecintaan Bahasa sebagai
Identitas Bangsa, mengutip pendapat Menristek Anies Baswedan, bahwa Pelajar
Indonesia setidaknya mampu menguasai tiga bahasa, yaitu Bahasa Daerah, Bahasa
Nasional dan Bahasa International. Saya berasumsi bahwa dengan menguasai tiga
bahasa diatas ada semangat Ke-Bhineka-an
yang ingin tetap di jaga melalui adat istiadat dan budaya. Sebab identitas
kebangsaan tidak saja tercermin dari Bahasa nasional yang kita gunakan sebagai
Bahasa resmi atau Bahasa formal namun juga terdapat pada Bahasa Daerah yang
padanya melekat budaya dan tradisi yang kini terancam atau bahkan ada beberapa
yang telah punah oleh karena semakin sedikit jumlah penutur yang menggunakannya
termasuk di Maluku Utara. Teringat cerita dari seorang Mahasiswa dalam tugasnya
sebagai kapasitas pemandu untuk tamu dari Pusat (analogi orang yang datang dari
luar daerah) dalam kepentingan untuk melakukan pemetaan artefak Arkeologi-Sejarah
di pedalaman Halmahera. Lantaran ingin menego biaya transportasi dengan sang
sopir yang asli orang Halmahera, mereka Mahasiswa pemandu yang memang berlatar
jurusan Sastra Inggris itu menggunakan Bahasa Inggris. Dengan maksud agar sang
sopir tidak mengetahui arah pembicaraan yang akan mereka bahas. Komunikasi
“rahasia” menggunakan bahasa Inggris pun mengalir sembari disimak oleh sang supir dengan penuh
khidmat sebab posisi mereka memang saling berdekatan. Sebelum putusan tawaran
dari diskusi kecil tadi disampaikan oleh Mahasiswa Pemandu kepada sang sopir, ternyata sang sopir lebih
dulu menyela dengan kalimat “ suda’ ekh jang ngoni pake bahasa rahasia, Ngoni
kira kita tra mangarti bahasa Inggris?”. Setidaknya ilustrasi penutup ini
menggelikan sekaligus membanggakan bahwa apa yang disampaikan oleh Menristek diatas
dengan menguasai tiga bahasa, diantaranya Bahasa Daerah, Nasional dan
Internasional telah diimplementasi oleh sang Supir yang ternyata juga seorang
alumni Mahasiswa Sastra Inggris. Semoga dengan memperingati Bulan Bahasa tahun
ini, kita tidak selalu lupa dengan identitas
kebangsaan kita melalui Bahasa, Mari !....
*Oleh : Syahyunan Pora (Tulisan ini pernah dimuat di Harian Malut Post tgl 28/10/15)