CITY BRANDING & FILOSOFI KOTA REMPAH

By

Syahyunan Pora 

Kota memiliki peranan penting tidak hanya untuk kepentingan bagi para warga kotanya namun dalam konteks yang lebih luas kota adalah nilai peradaban sejarah bagi kehidupan manusia. Kota tidak sekadar membatasi suatu wilayah dalam pengertian geografis, Teritorial hingga toponim sebuah tempat. Namun Kota adalah Denyut nadi kehidupan bagi para warganya. Kecenderungan kota selalu diacu sebagai identitas para warga. Tidak jarang predikat seberapa beradabnya kota kerap menjadi pencitraan dengan perilaku para warga yang mendiami kota tersebut. Dalam tradisi sejarah kota yang terekam dalam kitab agama-agama samawi. Pencitraan sebuah Kota menjadi ukuran nilai yang melekat tidak hanya kepada para warga kotanya  melainkan juga kepada para pemimpinnya yang dianggap lalim atau adil. citra kota di era modern ini selalu menjadi cita-cita para pemangku kepentingan dan warganya untuk menjadikan kota lebih humanis,  manusiawi dan layak dihuni sebagai kota yang berperadaban. Upaya itu yang kemudian meretas istilah-istilah berupa “Kota Madani”, “Kota Humanis”, “Kota Agamais” “Kota hijau” hingga kota-kota metropolis lainnya yang sebisa mungkin tidak tercerabut dari akar kearifan budaya setempat. Identitas yang melekat pada sebuah kota kemudian diupayakan sebagai “brand Image” lalu kemudian melahirkan “Brand City” yang sejatinya dapat  bersinergi dengan warga kota maupun para pendatang.

City branding atau branding kota secara sederhana dapat dikatakan sebagai istilah atau slogan kota yang menjadi ciri khas kota. Strategi ini digunakan sebagai alat pemasaran kota agar semakin memiliki kedudukan strategis di mata nasional maupun dunia Internasional. Sebutan itulah yang mengangkat target pemasaran kota. Jika menelisik “Brand” sebuah kota dalam kerangka pemasaran,periklanan dan pariwisata yang kemudian bermuara pada konteks pemberdayaan warga, maka kata kuncinya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Aktifitas  Ekonomi dalam membranding sebuah identitas budaya yang kemudian melahirkan prinsip-prinsip ekonomis secara filosofis kutipan bijak mengajarkan kita bahwa “Tamu adalah Raja”. Hal serupa berbanding lurus dengan prinsip politik pemerintahan yang mana pemangku kepentingan  adalah pealayan bagi para warganya. Melayani dalam konteks ini adalah memfasilitasi, saling memberdayakan dan bekerja sama agar saling bersinergi dalam kepentingan Bersama. Dalam menggagas Branding Ternate sebagai Kota Rempah tentu aspek budaya, ekonomi, hukum maupun politik menjadi syarat mutlak untuk mencari nilai filosofi tersembunyi dibalik city branding Ternate sebagai kota rempah. Pertanyaan kemudian yang patut dijawab dari aspek budaya adalah Pertama Sejauhmana artifak budaya dapat melandasi pengetahuan kita mengenai rempah-rempah sebagai sebuah identitas yang tidak hanya sekadar sebagai slogan. Kedua apakah romantisisme sejarah tentang rempah dapat menjadi identitas yang progresif bagi pemberdayaan warga sebagai branding sebuah kota?. Ketiga seberapa kuat ketahanan artifak budaya kita dapat menciptakan  rasa memiliki warga atas brand tersebut sebagai bagian dari identitas kota?. Begitupun jika ingin mengeksplorasi nilai-nilai filosofi dari aspek politik “branding Kota” Ternate sebagai Kota Rempah. Pertama Sejauh mana pemangku kepentingan mengatur dan menyediakan public space sebagai akses untuk promosi hajat kota kepada warganya ketimbang kepentingan politik tertentu dengan Baliho, spanduk atau banner-banner politis yang lebih memanfaatkan tempat-tempat strategis didalam kota. Secara hukum berapa banyak legalitas brand dari produk makanan maupun minuman yang bercita rasa rempah telah diklaim oleh pemangku kepentingan sebagai produk khas daerah kita. Selanjutnya Adakah regulasi penamaan tempat, bangunan public atau nama jalan yang mencitrakan identitas kita sebagai Kota Rempah? Dan sebearapa banyak sanksi atas artifak benda-benda sejarah yang berkaitan dengan rempah yang telah dikukuhkan sebagai warisan budaya yang dapat ditindak secara perundang-undangan jika dengan sengaja merusak atau menghilangkan identitas artifak tersebut?. 

Begitupun dari aspek ekonomi sudahkah maksimal upaya promosi rempah menjadi ladang ekonomis yang saling menguntungkan antara pemangku kepentingan dan para petani rempah?. Ataukah penting tidaknya menata ikon pariwisata dengan tidak melupakan keterlibatan pelaku ekonomi rakyat terhadap promosi rempah dalam berbagai produk olahan. Demikian sekiranya beberapa point yang dijabarkan diatas dapat menjadi dasar untuk mengukuhkan ternate sebagai Branding kota rempah yang tidak semata berahir pada slogan.       

Yunan_Syahpora

What to say about me? I have wonderful friends.I am passionate about teaching and creative expression.In my spare time, I read a lot of Interest Book, love TV, IT gossip, movies and most of all is football. I'm blessed with an amazing family and close friends.

Lebih baru Lebih lama