MERAWAT KEMAJEMUKAN

.
Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam suatu kebudayaan. Penjelasan diatas menunjukan bahwa kebudayaan ternyata memiliki berbagai aspek yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan kepercayaan, sikap-sikap, dan hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Masyarakat Indonesia yang  majemuk terdiri dari berbagai budaya, perbedaan ini seharusnya berfungsi  mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.  Kemajemukan adalah kekayaan yang sangat bernilai dan seharusnya menjadi kekuatan integratif, namun pada kenyataanya kemajemukan malah menuai berbagai konflik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu menjadi wajar disebabkan oleh prasangka-prasangka yang tidak berdasar karena lemahnya kesadaran dan pemahaman tentang keberagaman. Nalar kolektif masayarakat akan kemajemukan masih terkooptasi oleh logosentrisme yang sarat prasangka, bias, kebencian dan reduksi terhadap kelompok yang ada diluar dirinya. Indonesia tidak akan pernah bangkit dari keterpurukannya sebelum masyarakatnya memiliki toleransi dan hidup berdampingan antara sesamanya. Pengalaman historis sejak negara ini terbentuk melalui proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 menunjukan betapa tidak mudahnya merawat kemajemukan itu. Meskipun demikian, sesungguhnya prinsip kemajemukan bangsa Indonesia telah tertuang dalam nilai filosofi  Bhineka Tunggal Ika, berbeda beda tetapi tetap satu jua. Hal itu sebenarnya menunjukan betapa kemajemukan diperhatikan oleh para founding fathers kita. Melihat realitas kemajemukan yang tidak sejalan lurus dengan pemahaman dan kesadaran akan hakekat kemajemukan tersebut maka perlu digali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada disetiap daerah untuk dijadikan sebagai perekat kebersatuan integritas hidup berbangsa dan bernegara.  Terbukanya diskursus mengenai nilai-nilai lokalitas ini tentu menjadi awal yang baik karena dengan begitu pemikiran-pemikiran lokalitas yang sudah ada sejak lama cenderung diabaikan. Nilai kearifan lokal ini kembali memiliki peluang untuk menjadi solusi bagi persoalan yang berdimensi pluralistik maupun multikulturalis yang kerap memicu intoleransi dan disharmoni dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Salah satu dari sekian banyak  nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh sejumlah daerah di Indonesia adalah tradisi dan sastra lisan daerah. Kearifan lokal merupakan bagian inheren dari suatu kebudayaan lokal, oleh karena itu memahami kearifan lokal membutukan pemahaman terhadap kebudayaan masyarakat tersebut. Oleh karena kebudayaan mencakup aspek-aspek ideal yang paling abstrak, kemudian perilaku dan kelembagaan sosial, sampai pada artefak atau teknologi yang digunakan manusia (Koentjaraningrat, 1986:186-187) maka kajian terhadap kearifan lokal juga akan meliputi kearifan-kearifan pada wujud budaya yang paling abstrak sampai pada yang paling konkrit. J.W.M. Bakker dalam bukunya filsafat kebudayaan, berpendapat bahwa aspek formal dari humanisasi terletak pada karya budi yang mentransformasikan data, fakta dan kejadian alam yang dihadapinya menjadi nilai bagi manusia. Kebudayaan singkatnya, adalah penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani (Bakker dalam Snijders, 2004:58).   Nilai-nilai dalam kebudayaan  tersebut  menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual  yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat  dengan orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses individual,  sosial dan kultural sekaligus (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam suatu kebudayaan. Penjelasan diatas menunjukan bahwa kebudayaan ternyata memiliki berbagai aspek yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan kepercayaan, sikap-sikap, dan hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Masyarakat Indonesia yang  majemuk terdiri dari berbagai budaya, perbedaan ini seharusnya berfungsi  mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.  Kemajemukan adalah kekayaan yang sangat bernilai dan seharusnya menjadi kekuatan integratif, namun pada kenyataanya kemajemukan malah menuai berbagai konflik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu menjadi wajar disebabkan oleh prasangka-prasangka yang tidak berdasar karena lemahnya kesadaran dan pemahaman tentang keberagaman. Nalar kolektif masayarakat akan kemajemukan masih terkooptasi oleh logosentrisme yang sarat prasangka, bias, kebencian dan reduksi terhadap kelompok yang ada diluar dirinya. Indonesia tidak akan pernah bangkit dari keterpurukannya sebelum masyarakatnya memiliki toleransi dan hidup berdampingan antara sesamanya. Pengalaman historis sejak negara ini terbentuk melalui proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 menunjukan betapa tidak mudahnya merawat kemajemukan itu. Meskipun demikian, sesungguhnya prinsip kemajemukan bangsa Indonesia telah tertuang dalam nilai filosofi  Bhineka Tunggal Ika, berbeda beda tetapi tetap satu jua. Hal itu sebenarnya menunjukan betapa kemajemukan diperhatikan oleh para founding fathers kita. Melihat realitas kemajemukan yang tidak sejalan lurus dengan pemahaman dan kesadaran akan hakekat kemajemukan tersebut maka perlu digali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada disetiap daerah untuk dijadikan sebagai perekat kebersatuan integritas hidup berbangsa dan bernegara.  Terbukanya diskursus mengenai nilai-nilai lokalitas ini tentu menjadi awal yang baik karena dengan begitu pemikiran-pemikiran lokalitas yang sudah ada sejak lama cenderung diabaikan. Nilai kearifan lokal ini kembali memiliki peluang untuk menjadi solusi bagi persoalan yang berdimensi pluralistik maupun multikulturalis yang kerap memicu intoleransi dan disharmoni dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Salah satu dari sekian banyak  nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh sejumlah daerah di Indonesia adalah tradisi dan sastra lisan daerah. Kearifan lokal merupakan bagian inheren dari suatu kebudayaan lokal, oleh karena itu memahami kearifan lokal membutukan pemahaman terhadap kebudayaan masyarakat tersebut. Oleh karena kebudayaan mencakup aspek-aspek ideal yang paling abstrak, kemudian perilaku dan kelembagaan sosial, sampai pada artefak atau teknologi yang digunakan manusia (Koentjaraningrat, 1986:186-187) maka kajian terhadap kearifan lokal juga akan meliputi kearifan-kearifan pada wujud budaya yang paling abstrak sampai pada yang paling konkrit. J.W.M. Bakker dalam bukunya filsafat kebudayaan, berpendapat bahwa aspek formal dari humanisasi terletak pada karya budi yang mentransformasikan data, fakta dan kejadian alam yang dihadapinya menjadi nilai bagi manusia. Kebudayaan singkatnya, adalah penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani (Bakker dalam Snijders, 2004:58).   Nilai-nilai dalam kebudayaan  tersebut  menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual  yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat  dengan orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses individual,  sosial dan kultural sekaligus (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Sejalan dengan  pengertian tersebut  maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973),  kebudayaan adalah segala sesuatu  yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial,  oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan  bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (Folkways)  dan tata kelakuan (mores )  tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. mengutip pendapat Nasikun, tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Nasikun mengatakan masyarakat Indonesia sebagai sesuatu yang unik. Secara horizontal masyarakat Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, perbedaan kedaerahan, dan sebagainya.
Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Geertz secara rinci menggambarkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari berbagai sisi : Pertama, hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan ini menunjuk kepada ikatan dasar hubungan darah (keturunan) yang dapat ditelusuri yang berdasarkan garis keturunan ayah, ibu, atau keduanya. Kedua, ras dapat dibedakan dari ciri-ciri fisik orang lain ( rambut, kulit, bentuk muka, dan lain-lain).
Ketiga daerah asal, merupakan tempat asal orang lahir yang akan memberikan ciri tertentu apabila yang bersangkutan berada ditempat lain, seperti dialek yang digunakan, anggota organisasi yang bersifat kedaerahan, perilaku, dan lain-lain. Keempat bahasa, menggunakan bahasa daerah sukunya masing-masing. Kelima, agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia berbeda-beda. Sejalan dengan dua pendapat diatas, Franz Magnis Suseno menyatakan jika seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat menghayati kebudayaan lokalnya secara sempit dan seluruh identitasnya berdasarkan kelompok kecilnya sendiri, maka hal ini dapat menjadi suatu ancaman bagi integrasi nasional. Upaya meminimalisir disintegrasi dari pemahaman sempit terhadap kemajemukan, maka perlu dilakukan identifikasi budaya melalui tradisi kelisanan yang ada.Sejalan dengan  pengertian tersebut  maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973),  kebudayaan adalah segala sesuatu  yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial,  oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan  bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (Folkways)  dan tata kelakuan (mores )  tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. mengutip pendapat Nasikun, tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Nasikun mengatakan masyarakat Indonesia sebagai sesuatu yang unik. Secara horizontal masyarakat Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Geertz secara rinci menggambarkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari berbagai sisi : Pertama, hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan ini menunjuk kepada ikatan dasar hubungan darah (keturunan) yang dapat ditelusuri yang berdasarkan garis keturunan ayah, ibu, atau keduanya. Kedua, ras dapat dibedakan dari ciri-ciri fisik orang lain ( rambut, kulit, bentuk muka, dan lain-lain).
Ketiga daerah asal, merupakan tempat asal orang lahir yang akan memberikan ciri tertentu apabila yang bersangkutan berada ditempat lain, seperti dialek yang digunakan, anggota organisasi yang bersifat kedaerahan, perilaku, dan lain-lain. Keempat bahasa, menggunakan bahasa daerah sukunya masing-masing. Kelima, agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia berbeda-beda. Sejalan dengan dua pendapat diatas, Franz Magnis Suseno menyatakan jika seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat menghayati kebudayaan lokalnya secara sempit dan seluruh identitasnya berdasarkan kelompok kecilnya sendiri, maka hal ini dapat menjadi suatu ancaman bagi integrasi nasional. Upaya meminimalisir disintegrasi dari pemahaman sempit terhadap kemajemukan, maka perlu dilakukan identifikasi budaya melalui tradisi kelisanan yang ada.
Yunan_Syahpora

What to say about me? I have wonderful friends.I am passionate about teaching and creative expression.In my spare time, I read a lot of Interest Book, love TV, IT gossip, movies and most of all is football. I'm blessed with an amazing family and close friends.

Lebih baru Lebih lama