Oleh
Syahyunan Pora
Sejak pertama kali dibuka lokasi transmigrasi subaim pada Tahun 1982 yang saat itu diprakarsai oleh Pemerintah Kab Dati II Halteng, yang mana otonomi daerahnya masih dibawah propinsi induk yaitu Propinsi Maluku. Pelaksananya dalam hal ini adalah Dinas Transmigrasi Kabupaten. Gelombang pertama saat Transmigrasi Subaim baru pertama dibuka sekitar 500-an hingga 700-an per KK warga trans yang didatangan dari berbagai wilayah di Pulau Jawa.
Diantaranya dari Jawa Timur, yang meliputi Jember,Banyuwangi dan Madura, Jawa Tengah, Cilacap, Kebumen dan Banyumas dan dari Jawa Barat sebagian besar dari Sukabumi Dan sebagian kecilnya dari Tasikmalaya. Selain dari warga transmigran yang berasal dari Pulau Jawa ada juga Transmigran Lokal (Translok) yang berasal dari suku Tidore dan Maba.Sesuai dengan data informan warga Trans SP1 Desa Bumi Restu, Pak Darmiyanto, yang juga salah seorang transmigran asal Cilacap Jawa Tengah mengatakan, pada gelombang pertama transmigran yang berasal dari jawa ketika pertama kali didatangkan oleh pemerintah belum secara keseluruhan mendapatkan lahan.Baru pada gelombang II bersamaan dengan Transmigran lokal lahan persawahan dan perkebunan mulai digarap. Hingga kini Satuan Pemukiman (SP)1 yang telah dimekarkan menjadi Mekar Sari dan Bumi Restu yang dihuni oleh warga transmigran kurang lebih 3000 Jiwa penduduk. Dengan rincian data yang diperoleh dari Kantor Desa Bumi Restu sebanyak 1820 jiwa penduduk sementara Desa Mekar Sari berjumlah 1255 jiwa penduduk dengan masing-masing data yang diperoleh bersumber pada thn 2008. Dengan jumlah penduduk yang berasal dari suku bangsa yang beragam dalam satu wilayah pemukiman transmigrasi interaksi sosial sesama warga tidak bisa dielakan dengan berbagai konsekuensi plus-minusnya. Pada kegiatan sosial yang melibatkan semua suku dari warga trans di Bumi Restu sering melibatkan beragam suku di saat kegiatan kerja bakti bersama untuk membangun rumah-rumah Ibadah misalnya, ataupun kerja sama dalam mengolah hasil panen. Meski ketika awal penempatan warga di lokasi trans ini dengan berbagai suku pernah menjadi tarik ulur dalam hal penggarapan usaha perkebunan maupun pertanian. Yang masih menurut informan Pak Darmiyanto mengandung potensi konflik saat pertama kali daerah transmigrasi ini baru dibuka. Sebab keinginan membuka lahan usaha untuk persawahan (lahan Basah, seperti bercocok tanam padi) sebagian besar diinginkan oleh warga pendatang dari Suku Jawa sementara dari warga translokal yang kebanyakan berasal dari suku asli lebih menginginkan untuk bercocok tanam untuk menggarap lahan kering atau tanaman pangan. Namun potensi konflik sesama warga trans ini kemudian tidak berlanjut dengan inisiatif tokoh
masyarakat setempat untuk menengahi permasalahan ini sehingga kini tidak sedikit sesama warga Trans yang berasal dari suku aslipun dapat menggarap sawah sama halnya dengan para warga trans pendatang yang kini sudah banyak yang mahir dalam bercocok tanam di lahan yang kering. Seperti mengolah perkebunan Kelapa, Kakao dan Pala. Interaksi budaya relatif masih dipertahankan dari sesama warga pendatang dari berbagai suku yang berasal dari Jawa. Hal ini masih dapat dilihat dari berbagai macam kegiatan dalam perayaan hari hari besar agama maupun hari-hari besar nasional. Bahkan masih dianggap kental budaya jawa yang mewarnai keseharian warga trans Subaim. Dimana pada saat tertentu ketika ada hajatan keluarga berupa acara perkawinan di lokasi Trans ini hampir 80% sajian kebudayaan jawa melalui seni tari dan pegelaran wayang semalam suntuk, maupun atraksi dolanan jaranan kepang ataupun kuda lumping masih sering digelar. Walau kini frekuensinya berkesenian yang dapat mengikat toleransi kegiatan kebudayaan sesama warga pendatang maupun penduduk asli/warga trans lokal sedikit berkurang. Ini disebabkan oleh kondisi ekonomi warga yang pada 3 tahun belakangan ini sementara menurun karena hasil produksi dibidang pertanian wargapun ikut terkena dampak konflik horisontal. Sama halnya ketika dibukanya area pertambangan di areal sekitar lokasi Trans Subaim tidak sedikit warga yang turut beralih profesi dari petani ke buruh tambang ataupun disektor lain seperti menjadi pedagang umumnya. Namun kemudian akibat krisis global sehingga banyak karyawan/buruh tambang yang di PHK, bisa dikatakan lahan sawah aktif yang awalnya digarap secara serius kini banyak yang terbengkalai atau menjadi bongkor sekitar 40%. Dalam interaksi kebudayaan, warga pendatang lebih permisif untuk menerima budaya-budaya lokal dari penduduk asli Halmahera seperti dari suku Tidore, Maba dan Tobelo. Kebalikan dari suku asli yang masih relatif tertutup untuk menerima kebudayaan warga pendatang khususnya dalam bentuk kesenian dan tradisi adat yang juga berfungsi sebagai kontrol sosial sesama warga trans yang berasal dari suku jawa meski organisasi budaya atau bisa dikatakan sebagai lembaga adat itu tidak berfungsi secara organisatoris maupun terstruktur. Pengecualiannya apabila terjadi kawin silang antara suku asli dan suku pendatang maka kebudayaan dari kedua suku tersebut cenderung lebur dalam interaksi kebudayaan yang sama. Hal ini dimungkinkan oleh keturunan yang dilahirkan dalam wilayah trans masih dominan dikuasai oleh warga pendatang atau suku yang berasal dari jawa, termasuk dalam penguasaan bahasa. Mayoritasnya suku jawa pada daerah Transmigrasi Subaim dari SP1 hingga SP6 boleh dikatakan mencapai 80%, sehingga tidak menutup kemungkinan ada hal-hal yang menyangkut dengan kegiatan budaya maupun kegiatan-kegiatan sosial lainnya dapat mempengaruhi secara tidak langsung hingga ke etos kerja ke warga trans lainnya termasuk warga trans lokal yang berasal dari suku asli.
Hal ini juga disampaikan oleh Kepala Desa Mekar Sari, Pak Sutrisman yang juga dijadikan sebagai informan. Bahwa kini kegiatan sosial budaya yang melibatkan berbagai suku dalam satu lokasi trans sudah mulai lebur dengan sedikit banyaknya pengetahuan bertani di Sawah yang juga sudah dimiliki oleh suku yang berasal dari warga trans lokal. Misalnya orang Tidore dan orang Maba. Indikasi ini diperkuat dengan mulainya warga dari suku asli (trans lokal) sudah sedikit banyak memiliki sawah. Sementara dari warga trans atau dari suku Jawa sendiri tidak sedikit yang terlanjur menjual area persawahannya untuk beralih ke profesi lain (indikasinya tertarik dengan penghasilan yang lebih besar kemudian beralih profesi ke Buruh tambang di Pertambangan nikel yang baru dibuka). Dengan tingkat keuletan yang tinggi serta keseriusannya dalam menggarap lahan persawahan memberikan implikasi penguasaan sumber daya ekonomi di lokasi Trans Subaim ini lebih didominasi oleh Suku Jawa umumnya dibidang pertanian dan perkebunan. Sebagian kecil dari Suku Sunda. Bisa saja cara pandang kebudayaan menurut etos kerja setiap warga transmigran yang berasal dari suku Jawa ketika sesampainya di daerah Trans, mereka sudah jauh-jauh hari dibekali dengan motifasi yang kuat untuk mau merubah nasib. Sehingga bisa dikatakan ketika ada warga dari suku jawa yang mau mengikuti program pemerintah sebagai peserta transmigrasi kedaerah-daerah yang baru dibuka, meski jauh dari tanah leluhurnya. Bisa dikatakan bahwa filosofi hidup suku Jawa dengan ungkapan ” Mangan Ora Mangan Ngumpul”(makan tidak makan kumpul) yang sudah teratanam kuat dalam kebudayaan Jawa itu sendiri, kini perlahan-lahan mulai tergerus oleh perubahan zaman.