Apa yang menjadi ciri
khas paling dominan bagi orang-orang Maluku Utara dalam dunia Politik?, sebagai tesa saya berasumsi bahwa “Kekuasaan” atau Tahta-lah yang lebih dominan
ketimbang Harta, sementara “Wanita” adalah salah satu keping mata uang logam
dari sisi yang berbeda. Tidak bermaksud mendiskreditkan hal-hal yang
berhubungan dengan Gender tetapi sekadar mencoba mengkonsepsikan betapa pentingnya kekuasaan
bagi kita. Menoleh pada sejarah masa lalu dalam struktur pemerintahan Kerajaan Ternate, sekiranya telah memberikan gambaran
kepada kita bahwa karakter dan tipikal politis orang-orang maluku utara
telah terbentuk dan dikondisikan oleh kekuasaan dan wewenang yang dimiliki
dalam setiap klan/marga/soa/ atau kampung. Bahkan suku pendatang dan orang berbeda
keyakinan pun mendapat apresiasi dalam
struktur pemerintahan kerajaan. Ditengarai bahwa organisasi Soa tersebut sangan
erat dengan korelasi Sosio-Politik Kesultanan. Typikal sosio-politik itu juga
terdapat di kesultanan Tidore (Leirissa,1996).
Siapa
Kita?
Kata “Kita” dengan
tanda kutip pada judul diatas, anggaplah representasi pada maksud “Kita” sebagai Orang Ternate atau orang Maluku Utara.
Meskipun akan tidak mudah mewakilkan
kata “Kita” tersebut sebagai maksud yang sebenar-benarnya tertuju pada karakter,
identitas, atau perilaku politik orang-orang
Ternate atau Orang Maluku Utara pada umumnya. Barangkali sama sulitnya
mengidentifikasi perilaku dan karakter politik suku-suku lain di Indonesia. Kita
yang kerap diidentifikasi secara geografis
dengan ungkapan “Orang-orang Timur” yang mana konsepsi ini hanya merujuk pada tempat tinggal orang-orang yang
dibagi sesuai Zona Wilayah Waktu Indonesia.
Lalu siapakah Orang-orang Timur itu?.
Bisa jadi ungkapan tersebut sebagai sebuah Sterotype (baca: stereotip) zaman kolonial dulu dengan politik Devide et Impera-nya atau Politik adu
domba Belanda. Atau jangan-jangan justru stereotype itu muncul di era kemerdekaan sebagai akibat dari tidak meratanya pembangunan hingga memunculkan
sebutan Indonesia Timur dan Indonesia
Barat. Ketimpangan pembangunan ini tidak hanya berimbas secara Geografis,
ekonomi dan budaya tetapi juga secara Geo-politis seiring dengan karakter
politik masyarakat yang sangat majemuk. Setelah
70 tahun kemerdekaan Indonesia stereotip suku dan agama masih mewarnai kehidupan
sosial kita hingga menciptakan karakter dan perilaku politis yang kuat ditengah masyarakat. Sejarah
Maluku/Utara yang memang pada dasarnya
sudah sarat dengan kepentingan politik, rasanya terlalu dini untuk mengklaim bahwa
sindrom kekuasaan yang berdimensi kerajaan
juga turut berperan dalam melahirkan karakter politik dan stereotype
suku-suku yang ada di Maluku Utara. Termasuk romantisme pertikaian antara Ternate-Tidore,
dan suku-suku lainnya yang juga
mempunyai andil besar dalam pembentukan karkater politik Masyarakat kita. Kini aroma itu semakin
kuat menyengat ketika setiap kali tiba masa-masa perhelatan Pemilihan Kepala Daerah.
Stereotypes
(Stereotip) Suku
Istilah Stereotip dari
kata Yunani στερεός (stereo), "tegas, padat" dan
τύπος (typos), "kesan,". Sederhananya stereotip berarti "kesan yang kuat". Wartawan
Amerika Walter Lippmann dalam karyanya Public
Opinion memperkenalkan Istilah
"stereotype" dalam pengertian
psikologi modern (Melton,1993). Istilah ini kemudian diartikan dalam KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) sebagai sebuah konsepsi mengenai sifat suatu golongan
berdasarkan prasangka yg subjektif dan tidak tepat. Plus-minus istilah
stereotype pada perkembangan selanjutnya merembet pada ranah politik hingga tanpa
disadari dijadikan sebagai jalan pintas untuk
mendiskreditkan atau mencitrakan hal-hal yang sederhana menjadi kompleks
begitupun sebaliknya. Kekuasaan atau Penguasa dalam kancah perpolitikan Maluku Utara pun cenderung terarah pada
hal-hal yang terpersonifikasi secara pribadi beserta asal-usul suku yang bermain didalamnya. “Ngana orang mana” (sebagai representasi
suku) atau “Ngana sapa” (representasi figur/tokoh)
adalah isu-isu strategis untuk saling
menjegal dan mendukung tanpa ada penyelidikan secara detil mengenai rekam jejak
seseorang secara objektif. Potret enam Desa dengan isu teritori di Halut-Halbar
yang belum sepenuhnya tuntas. Wacana “keistimewaan” antara Maluku Utara atau
Moloku Kie raha pun sangatlah berdimensi politis ketimbang sosio-ekonomis. Sementara di sisi lain aset
kita untuk memajukan daerah agar lebih berkeadaban justru terletak pada
pluralisme masyarakat sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal dan kamejemukan
yang terimplementasi dalam struktur pemerintahan kerajaan dahulu. Membaca Malut
Post mengenai tensi pilwako yang mulai panas di Ternate (30/9/15) sehingga
berimbas pada pengrusakan alat peraga dua paslon yang disinyalir oleh orang tak
dikenal. Termasuk beberapa spanduk yang dirusaki Orang Tak di Kenal (OTK) di Maba yang juga dirilis oleh harian yang
sama (2/10/15) semoga bukan menggambarkan karakter politik orang Maluku Utara
yang sesungguhnya. Namun orang “kita” (terminologi arti saya atau aku dalam
bahasa/pasar melayu kita sehari-hari) sehingga bisa diklaim sebagai “oknum”
yang memang belum dewasa dalam berpolitik dan tidak siap untuk kalah. Sebab
jika tidak keliru mayoritas orang kita juga dapat bersikap fair atau bisa
menerima kekalahan terutama dalam konteks olah raga semisal sepak bola.
Teringat beberapa tahun lalu Ketika Persiter masih berkiprah di pentas
nasional, saat laga kandang berlangsung dan selaku tuan rumah tidak menampilkan
permainan yang semestinya. Maka percayalah pendukung tuan rumah pun akan
berbalik mendukung tim tamu. Semoga analogi karakter politik diatas tidak
keliru dengan sepak bola, sebab dalam sepak bola pun sarat dengan trik dan
intrik politik, yang membedakannya adalah tempat laga. Satu di panggung politik
dan yang lainnya di lapangan hijau. Semoga kedepan kita lebih dewasa dan santun
dalam berpolitik. Marimoi Ngone Futuru...
Tags:
Opini