Apakah tindakan berfilsafat
selalu mengarah pada suatu kesadaran murni bahwa yang namanya berfilsafat
itu selalu bersifat independent dan terlepas dengan imajinasi?.
Meskipun sekadar merepresentasi objek filsafat sebagai medium “ide” agar
makna yang terkandung dalam filsafat dapat disimpulkan melalui bahasa?. Ataukah
antara imajinasi dan berfilsafat memang mempunyai batas-batas tegas dan tidak
bisa dikacaukan antara satu dengan yang lainnya. Narasi pengantar ini hanya
ingin mewacanakan sejauh mana hubungan antara peran gambar sebagai media
imajinasi yang sering direpresentasi dalam bidang filsafat dan sejauh mana
otoritas filsafat dalam mendeskripsikan ide berfilsafat itu benar-benar
radikal, komprehensif maupun yang “Clear And Distingly”. Bisa jadi Plato
tidak menyangka bahwa penggambaran ide yang ia representasikan melalui mitos
“gua” tidak sesederhana ketika ia ingin menjelaskan ide-ide “mitos gua”
dalam upaya untuk meretas mana pengetahuan yang bersifat hakiki dan mana
pengetahuan yang bersifat semu. Beberapa filsuf dari Yunani Kuno, abad
pertengahan hingga abad modern juga mengamini hal yang sama. Dari Thales,
Anaximenes,Demokritos. Phytagoras, Hegel hingga Sartre mempunyai gambaran
dalam merepresentasi buah pemikiran mereka. Dunia Ide”-nya Plato sangat kental
representasi gambar dalam imajinasi.
Sementara Dunia filsafat kini telah menghasilkan beragam pertanyaan, seperti apakah filsafat dapat melahirkan konsep-konsep rasional murni serta memiliki alasan-alasan yang dapat mengandalkan rasionalitas manusia semata?.Polemik awal dalam sejarah filsafat telah berdialektika dengan dua tema aliran besar antara Rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran inipun tidak mempunyai alasan secara logis untuk mengesampingkan bahwa esensi dari suatu objek dapat “digambarkan” melalui citra atau persepsi mengenai rasa. Artinya sesuatu objek yang tergambar dalam imajinasipun tidak bisa dilepaskan oleh penggambaran filosofis sekalipun dari kesimpulan2 sederhana mengenai logika. Padahal kita tahu bahwa filsafat bukanlah dongeng, bukan cerita yang mendeskripsikan gambar atau eksplorasi dunia sastrawi yang kemudian dituangkan dalam karya-karya besar yang sarat makna nilai-nilai filosofis. Meski pada sisi lain otoritas filsafat dalam sejarah awal kelahirannya juga tak bisa dilepaskan dengan apresiasi yang “tergambar”. Bertolak dari dasar pikir ini ada kesan bahwa filsafat dalam konteks sejarah seolah-olah terdefinisi sebagai cabang ilmu yang otonom. Dari barat hingga timur, dari cabang hingga aliran pada kenyataanya filsafat selalu terepresentasi melalui “gambar”. Tak terkecuali hingga perkembangan sejarah filsafat dengan pengetahuan yang dicerap melalui rasionalisme maupun empirisisme. Laiknya pengertian seni sebagai sebuah pengetahuan dan seni sebagai pengalaman estetis, sampai pada tahapan ini filsafat harus dijabarkan secara hati-hati namun terstruktur guna menyimpulkan sebuah pemahaman filsafat yang “radikal” dan yang “jelas dan terpilah-pilah” (Clear and Distingly). Belum lagi jika merunut syarat sahnya sebuah pengetahuan yang dianggap ilmiah harus meliputi, bahasa, logika dan matematika tentu keradikalan filsafat akan mendapat tantangan zaman yang kian hari kian menantang tidak hanya bagi para penikmat filsafat melainkan bagi disiplin ilmu-ilmu lain yang berintegrasi dengan filsafat.
Sementara Dunia filsafat kini telah menghasilkan beragam pertanyaan, seperti apakah filsafat dapat melahirkan konsep-konsep rasional murni serta memiliki alasan-alasan yang dapat mengandalkan rasionalitas manusia semata?.Polemik awal dalam sejarah filsafat telah berdialektika dengan dua tema aliran besar antara Rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran inipun tidak mempunyai alasan secara logis untuk mengesampingkan bahwa esensi dari suatu objek dapat “digambarkan” melalui citra atau persepsi mengenai rasa. Artinya sesuatu objek yang tergambar dalam imajinasipun tidak bisa dilepaskan oleh penggambaran filosofis sekalipun dari kesimpulan2 sederhana mengenai logika. Padahal kita tahu bahwa filsafat bukanlah dongeng, bukan cerita yang mendeskripsikan gambar atau eksplorasi dunia sastrawi yang kemudian dituangkan dalam karya-karya besar yang sarat makna nilai-nilai filosofis. Meski pada sisi lain otoritas filsafat dalam sejarah awal kelahirannya juga tak bisa dilepaskan dengan apresiasi yang “tergambar”. Bertolak dari dasar pikir ini ada kesan bahwa filsafat dalam konteks sejarah seolah-olah terdefinisi sebagai cabang ilmu yang otonom. Dari barat hingga timur, dari cabang hingga aliran pada kenyataanya filsafat selalu terepresentasi melalui “gambar”. Tak terkecuali hingga perkembangan sejarah filsafat dengan pengetahuan yang dicerap melalui rasionalisme maupun empirisisme. Laiknya pengertian seni sebagai sebuah pengetahuan dan seni sebagai pengalaman estetis, sampai pada tahapan ini filsafat harus dijabarkan secara hati-hati namun terstruktur guna menyimpulkan sebuah pemahaman filsafat yang “radikal” dan yang “jelas dan terpilah-pilah” (Clear and Distingly). Belum lagi jika merunut syarat sahnya sebuah pengetahuan yang dianggap ilmiah harus meliputi, bahasa, logika dan matematika tentu keradikalan filsafat akan mendapat tantangan zaman yang kian hari kian menantang tidak hanya bagi para penikmat filsafat melainkan bagi disiplin ilmu-ilmu lain yang berintegrasi dengan filsafat.