Berbagai macam permasalahan pelajar yang terjadi di
Ibukota belakangan ini amat sangat memprihatinkan dunia pendidikan kita. Aksi
tawuran yang telah merenggut nyawa
beberapa orang pelajar, seolah mensiratkan dunia pendidikan kita sudah tidak mampu lagi
berbuat banyak untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pertanyaan kemudian, apa
yang salah dengan sistem pendidikan kita?, Kurikulumkah? atau lemahnya
pengawasan antara pihak sekolah dan orang tua sehingga setiap kali kekerasan
yang sudah menjurus ke tindak kriminalitas ini masih saja terus terjadi. Aksi sweeping dari aparat keamanan pun sudah berkali-kali menggeledah para
pelajar yang ketahuan membawa senjata tajam dibalik seragam ataupun dalam tas
sekolahnya, namun tidak pernah menciutkankan nyali para pelajar itu. Membaca
realitas dunia pendidikan kita dengan aksi kekerasan yang marak terjadi
akhir-akhir ini sudah saatnyalah semua pihak yang terkait tidak sekadar mengelus dada atau
hanya sebatas menyayangkan atas semua kejadian ini. Sudah saatnya Stakeholder pendidikan (pemangku kepentingan) harus turun
tangan mencari solusi atas kejadian ini. Wacana mengenai urusan kepemudaan atau pelajar dalam hal ini tidak lagi
semata menjadi tanggung jawab dinas pendidikan, melainkan kementrian pemuda dan
olah raga pun harus ambil bagian untuk penyelesaian masalah ini. Tidak hanya
menggelar ivent kepemudaan atau ajang pertukaran pelajar melainkan diminta juga
untuk dapat merumuskan solusi atas berbagai masalah krusial para pelajar yang nota bene menjadi aset
bangsa dimasa depan ini. Bila perlu Departemen Agama bahkan aparat kepolisian pun turut diminta peran aktif sebagai partner pendidik disamping para guru dan orang tua.
Dalam hal ini peran orang tua juga harus diposisikan sebagai partner ketimbang
“pengawas” ketika mereka berada diluar lingkungan sekolah. Tentu melalui
pendekatan-pendekatan psiko-humanis yang lebih memartabatkan eksistensi diri
mereka sebagai peserta didik.
Perlukah Mereview Kurikulum Yang Ada?
Kecenderungan
globalisasi dan derasnya arus informasi di era teknologi ini kerap menjadi
kambing hitam dan saling melempar tanggung jawab antara pihak sekolah dan
keluarga jika ada peserta didiknya yang dinilai gagal untuk mengemban
nilai-nilai dari tujuan pendidikan yang diacu. Sementara fakta yang ada, menyangkut kondisi maupun situasional peserta
didik kita sekarang ini, sudah jauh berbeda tidak seperti beberapa tahun yang
lalu. Bahkan tanpa disadari pihak sekolah dan orang tuapun tertatih-tatih mengamini
perubahan paradigma pendidikan yang pragmatis dan cenderung mengedepankan
nilai-nilai kognitif semata. Disisi lain, peserta didik kita sekarang ini sudah
tidak sukar lagi atau gagap teknologi dalam mengakses berbagai hal atau sekadar
untuk mendapatkan informasi terbaru pada era yang serba digital ini. Apalagi
Dengan lemahnya kontrol orang tua, lingkungan sosial yang cenderung apatis
serta sistem pendidikan yang lebih menitik beratkan pada aspek
intelektualitasnya saja, bukan tidak mungkin akan menciptakan karakter peserta
didik kita yang bersikap serba permisif serta mudah menyerap apa saja tanpa
adanya filterisasi dari sistem kurikulum yang terus-menerus diberdaya gunakan
demi kepentingan pendidikan yang tepat sasaran. Kurikulum pendidikan yang
berbasis pada life-skils untuk mengembangkan kepribadian serta kemandirian
peserta didik tergeser oleh kepentingan mengejar prestasi individual
melalui lembaga-lembaga privat semacam
kursus ataupun les yang sebenarnya tidak semuanya memiliki kesempatan yang sama.
Sehingga tanpa disadari inilah salah satu bentuk kesenjangan sosial yang
sebenarnya dimunculkan oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Apabila instansi
terkait tidak jeli melihat ini sebagai sebuah potensi yang dapat memecah belah
antar sesama peserta didik. Padahal semestinya arah kurikulum yang dicetuskan oleh dunia pendidikan kita,
semisal kurikulum berbasis kompetensi atau life skils harus mampu diadaptasikan
dengan tantangan perkembangan zaman yang ada, dimana tujuan dari kurikulum
pendidikan tidak semata mengasah kemampuan IQ sang peserta didik saja, tetapi
pihak sekolah maupun orang tua juga harus mampu mengembangkan alur pendidikan
yang lebih bermakna dengan tidak mengesampingkan pendidikan budi pekerti yang
memang kini menjadi harga mati untuk peserta didik kita.
Pendidikan Untuk siapa?
Idealnya
arah dari kebijakan pendidikan nasional harus secara substantif menjadi medium untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sehingga berbagai macam polemik yang menerpa wajah pendidikan kita dari
tawuran pelajar hingga remaja putus sekolah ataupun pendidikan kewirausahaan
yang menjadi program pemerintah untuk menekan angka kemiskinan, harus
terintegrasi dan selaras dengan pertanyaan untuk apa pendidikan dan bagi siapakah sesungguhnya pendidikan
itu?. Namun jika pendidikan hanya
sebagai pemenuhan program kerja dengan berbagai rencana jangka panjang maupun
menengah dari pemerintah. Begitupun
ide-ide cemerlang yang berhubungan dengan pendidikan berkarakter ataupun
pendidikan berbasis kearifan lokal hanya berhenti pada tahapan visi dan misi
saja sementara permasalahan didepan mata belum mampu teratasi, maka bisa
dikatakan bahwa ada yang belum sinkron dengan arah dan kebijakan sistem
pendidikan kita. Dan sudah selayaknya pembelajaran terhadap kasus-kasus
kekerasan di dunia pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi tidak selalu
dipahami sebagai sebuah kebijakan yang mandeg dari lembaga yang diberi wewenang
maupun tanggun jawab semisal sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan
saja. Melainkan pada skala yang lebih besar, Negara juga mutlak mempunyai peran
aktif serta berkepentingan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada,
sebab ukuran kualitas pendidikan pada suatu negara maupun bangsa akan selalu
berbanding lurus dengan dimilikinya sumber daya manusia yang berkualitas
unggul. Selain itu pemahaman tentang pendidikan juga harus menjadi bagian serta berintegrasi dan
memiliki tanggung jawab dengan masyarakat luas. Agar fungsi dan tujuan
pendidikan yang didapat dari sekolah dapat bersinergis dengan lingkungan
sekitar dengan tidak mengesampingkan dimensi religius maupun nilai-nilai moral
sebagai satu kesatuan dari hakikat pendidikan yang dituju.
Tags:
Philosophy Of Education