Kita seringkali tanpa sadar menandai sesuatu dengan merepresentasi dengan keadaan alam yang sedang berpancaroba. Misalkan, “Dulu sewaktu masih di sekolah dasar dulu, benteng Santa Lucia atau benteng Kalamata masih jauh dengan air laut alias belum terkena abrasi” atau “Oo..Ngana datang dulu tu, pas "sweering" bo’long jadi” atau “cewek yang bertahi lalat dibibir itu pertanda cerewet”. Arti yang menandakan kata ”Sweering” yang belum jadi itu, bisa saja mengandung arti bahwa Ternate belum semarak dan seramai kini, (sebab belum ada kosentrasi warga pada sebuah tempat sebagai tempat santai di sore ataupun malam hari) sementara maksud kata dari “Sweering” itu sendiri berasal dari asal kata bahasa Belanda “Zweering” yang berarti tapal batas yang memagari/menghalangi (pada konteks abrasi pantai).
Dari arti makna kata yang tersirat maupun yang tersurat mengandung multi tafsir arti dari berbagai pengandaian diatas. Pertama: ukuran waktu masa lalu dan masa kini yang menandai situs sejarah tersebut untuk selalu menjadi perhatian khusus bagi instansi ataupun dinas terkait sebab ancaman abrasi pantai yang lama-kelamaan bisa jadi dapat meruntuhkan tidak hanya bangunan sebagai benteng saja, melainkan sejarahnya juga akan ikut terkubur didalamnya. Kedua: Apakah makna kata Sweering atau Zweering yang kini menjadi identik dengan tempat santai warga Ternate di Sore hari maupun malam hari sudah selayaknya dimapankan sebagai sebuah "Landmark" yang menghilangkan identitas lokalitas etnik sebagai sebuah tempat?. Misalkan menyematkan nama sebuah tempat yang sedikit mengandung arti sejarah ataupun ada nilai apresiatif didalamanya. Seperti Taman Dodoku Ali, Pasar Gamalama ataupun lapangan Ngara Lamo.
Dan sepanjang pengetahuan bersama mengenai sejumlah nama tempat, entah itu nama jalan ataupun ruang-ruang publik lainnya di Kota ini masih banyak yang belum teridentifikasi dengan nama-nama yang mengandung rasa apresiasi terhadap lokalitas etnik maupun yang bernuansa Sejarah lokal yang ada. Sehingga tidaklah mengherankan dengan ekses tempat santai berupa Sweering ataupun Tapak II, III atau yang lainnya akan menjadi sesuatu kata yang familliar bagi warga Kota Ternate untuk menyematkan sebagai land mark ruang-ruang publik tersebut yang lama- kelamaan bisa mengandung arti negatif. Persoalannya kemudian akan menjadi lain (latah) dan bisa dibilang tidak kreatif jika hal sepele ini mengaburkan identitas hanya karena sebuah tanda dari nama-nama yang ada. Misalnya ada sebuah tempat di Halbar (Halmahera Barat) yang kini mulai dikenal oleh hampir sebagian besar warga Jailolo dengan sebutan Alun-Alun. Ketika orang menyebut alun-alun bukankah kata itu lebih familiar dan mengandung makna pada istilah kata yang berasal dari bahasa Jawa?. Sementara konteks kekinian yang ada pada budaya dan bahasa kita sendiri mungkin masih banyak yang belum termaknai dengan nama-nama ataupun istilah yang berangkat dari budaya sendiri (Hibua Lamo, dll misalnya).
Dalam kasus ini, akan berbeda jauh jika mau dikorelasikan dengan konteks nama Falajawa, Kampung Makasar atau dengan yang lainnya, yang kebetulan juga ada di Ternate. Sebab kronologis sejarahnya justru lebih kental menautkan sejarah Ternate masa lalu dan Ternate masa kini yang berhubungan dengan ekspansi, koloni maupun remah-remah yang melekat pada identitas Ke-Moloku Kieraha-an sebagai sebuah kerajaan. Sebagai putra daerah seringkali saya merasa malu, ketika ada seorang kawan yang datang jauh-jauh dari Jakarta dan sempat bertandang ke situs-situs sejarah Ternate, misalnya seperti Benteng Oranye yang tampilannya sudah tidak sesuai dengan wujud aslinya karena pemugaran yang terkesan asal-asalan, begitupun dengan benteng-benteng lainnya yang dilengkapi dengan Taman Bermain. Sama halnya dengan pertanyaan yang kerap kita dengar seperti ”Dimanakah prasasti atau tugu yang menandai atau sebagai simbol kedatangan para gujarat arab atau bangsa-bangsa eropa yang pertama kali menginjakan kaki pertama kali di Jazirah tul Muluk ini. Misalnya jika memang pendaratan pertama kali bangsa-bangsa Eropa menginjakkan kakinya di Ternate ini dimulai dari pantai Talangame (Bastiong kini) lantas? Dimanakah Tugu atau Prasastinya sebagai sebuah penanda! Atau jangan-jangan saya yang keliru mengartikan tanda bahwa wanita yang bertahi lalat di bibir itu cerewet plus judes. Sebab bisa jadi tahi lalat itu sebagai tanda penghias bibir, dan dimanapun letaknya niscaya tetap indah dipandang mata selama nokhtah hitam itu masih tetap diatas bibir. Berbeda kemudian jika itu menjadi buah bibir yang dapat melecehkan harkat dan martabat seseorang sebab tanda-tanda fisik sekalipun kecil bentuknya, kadang-kadang tanpa sadar, sering kita memaknai itu dengan ungkapan yang sarkastis maupun yang rasis....sehingga kritik pun bisa jadi berbuah pencemaran nama baik.....Naudzuubilahi mindzalik..
Tags:
My Philosophy Essay