”Ya....Tuhan Aku terperangkap dalam kata-kata” begitulah Grafity yang terpampang marak di dinding kamar mandi sebuah Fakultas. Karena tidak hanya satu coretan yang tertulis maka ibarat pantun berbalas, tanggapan berantai datang dari siapa saja yang sehabis melepas hajat dikamar mandi itu. apa dan mengapa menjadi kalimat tanya yang selalu menyertai sejumlah coretan di dinding kamar mandi tersebut. Akhirnya entah siapa yang menulis kesimpulan dari coretan coretan yang meresahkan hati dan hampir memakan sebidang dinding itu. ia hanya menyimpulkan dengan kalimat ”We Born Between Piss and Shit, adakah ini perlu dimaknai?”. begitulah didalam sebuah kamar mandipun pertanyaan tentang eksistensi masih terus diperdebatkan. Dan apabila kemudian eksistensi diri itu mewujud dalam ”it” bukan ”I”, seperti Cogito Ergo Sum-nya Descartes tentu ilmu juga membutuhkan ruang untuk berevolusi. Namun realitas atau wujud (being) yang ada ini tidak meniscayakan sebagaimana halnya eksistensialisme sebagai suatu aliran. Jadi sebenarnya humanisme Sartre memutlakan eksistensi manusia sebagai suatu ke-”ada”-an yang tidak sekedar ada. Melainkan Existence Precedes Essence (eksistensi mendahului esensi), dengan demikian atesime dengan sendirinya adalah sebuah konsekuensi dalam eksistensialisme Sartre. Atau kasarnya bagaimana kita sampai pada tahap untuk menolak Tuhan jika eksistensinyapun masih dipertanyakan. Begitulah kira-kira menurut Jean Paul Sartre. Memang manusia itu sungguh arogan, karena melihat dirinya serba cukup. Atau jangan-jangan materialismelah yang selalu mengancam manusia hanya dengan dua kata ”ketinggalan Zaman” hingga hukum alampun kalang kabut dalam kesadaran manusia. Demi Masa, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang beruntung.
Kampus Filsafat
Syahyunan Pora
Tags:
My Essay Philosophy