FILSAFAT SEJARAH DALAM REFLEKSI ANTARA SPEKULATIF & KRITIK

Oleh : Syahyunan Pora
Dialektika tentang filsafat sejarah hingga kini selalu menimbulkan perdebatan tersendiri antara para filsuf sejarah dan ahli sejarah. Apakah pengertian tentang devinisi sejarah hanya memberikan gambaran masa lalu dengan sebuah  ivent atau moment tertentu saja? Atau apakah sejarah itu bergerak secara siklis, linier atau bisa malah chaotik dan dialektis. Dan lebih rumit lagi apa yang paling mendasar untuk membedakan antara sejarah filsafat, filsafat sejarah dan pengertian tentang sejarah secara an sich itu sendiri. Untuk mendapatkan suatu gambaran yang tepat mengenai pemahaman kita terhadap filsafat sejarah yang sesungguhnya, maka tinjauan sejarah tidak bisa melepaskan diri dari asas ataupun metodologi filsafat sebagai pisau analisanya . Dalam judul diatas terdapat kata kunci antara spekulatif dan kritik  sebagai media untuk menjembatani filsafat sejarah yang pertama-tama harus diuraikan dulu kata spekulatif yang kadang disalah tafsirkan oleh kaum awam mengenai arti spekulatif itu sendiri. Ada pemahaman umum mengenai pengertian spekulatif yang kerap dipahami sebagai analogi dari kata spekulan, yang untung-untungan, dalam transaksi bisnis perniagaan, atau juga spekulatif diartikan tindakan “berjudi” yang tanpa perhitungan maupun dasar alasan yang tepat. Meski pada muara pengertian spekulatif mempunyai keterarahan pada sebuah konteks yang penuh dengan keraguan. Dalam ranah filsafat kata “spekulatif” menyiratkan ketidak puasan terhadap apa yang diperoleh melalui pencerapan pengetahuan. Sehingga pada tingkatan tertentu kata apriori sebenarnya identik dengan maksud spekulatif dalam pemahaman saya. dalam ruang lingkup filsafat sejarah spekulatif, objek materialnya menyoal tentang proses sejarah. Filsafat sejarah spekulatif tidak dengan sendirinya menerima masa lalu sebagai satu-satunya gambaran kita tentang definisi sejarah. Sehingga banyak pertanyaan yang diajukan akan selalu berkorelasi dengan pola-pola tertentu. Sementara pada filsafat sejarah kritis objek materialnya ilmu sejarah itu sendiri sementara objek formalnya adalah ciri konseputal, logis dan dapat dipertanggung jawabkan. Memang pada dasarnya filsafat sejarah kritis selalu menitik beratkan pada data. Dan pada data sejumlah fakta akan terungkap yang menyangkut dengan kenyataan sejarah, namun apakah dengan sejumlah fakta yang tersaji itu sudah cukup jika penelusuran tentang fakta-fakta sejarah itu hanya berhenti pada satu titik. Itulah kemudian yang menjadi pokok persoalan ketika sejarah filsafat spekulatif hadir dengan sejumlah pertanyaan mengenai linieritas, siklis maupun yang dialektis dalam tataran filsafat sejarah. Sementara pada filsafat spekulatif Jika sejarah an sich dijadikan sebagai sebuah konsep bangun ilmu, maka linieritas maupun siklisitas sejarah selalu mengandung gerak. Entah itu gerak maju, mundur ataupun tetap. Ada keterpautan lebih jauh menyangkut konsep sejarah jika dilihat dari sudut pandang filsafat. Dimana pemahaman manusia tentang sejarah akan selalu bertaut dengan deterministik maupun yang indeterministik. Misalnya keterlibatan pola-pola sejarah dalam tinjauan filsafat bisakah menjadi sebuah “jaminan” menyangkut dengan arah perkembangan  sejarah, berikut dengan kehidupan manusia yang ada didalamnya, dan  akankah pula selalu berakhir dengan sesuatu yang lebih baik? Ataukah malah sebaliknya?. Polemik inilah yang kemudian ingin sintesiskan dengan filsafat Sejarah ala ciptaan Hegel dengan definisi roh subjektif-nya, roh objektif hingga ke roh mutlak. Dimensi sejarah merupakan jantung Filsafat Hegel. Roh objektif  menurut Hegel adalah akal budi sementara roh subjektif adalah kenyataan. Sementara dialektika adalah konsep pertentangan menuju kesatuan di mana seluruh proses yang terjadi selalu mengalami pertentangan sebelum akhirnya menuju ke sebuah kesatuan. Dialektika sebagai proses terdiri dari 3 tahapan, tahapan pertama adalah tesis, kemudian tahapan kedua sebagai negasi disebut antitesis dan akhirnya tahapan ketiga disebut sintesis sebagai kesatuan atau yang mendamaikan kedua tahapan sebelumnya. Dalam sintesis tahapan pertama dan kedua tidak ditiadakan tetapi diangkat ke tahapan yang lebih tinggi. Hegel sendiri menggunakan bahasa Jerman “Aufheben” yang mempunyai 3 arti yaitu menyangkal, menyimpan dan kemudian mengangkat. Dalam filsafat contoh dari dialektika adalah proses dari “ada”(tesis), “ketiadaan” (antitesis), “menjadi” (sintesis). Di sini pertentangan terjadi antara “ada” dan “ketiadaan” kemudian terjadi proses aufheben sehingga dihasilkan “menjadi” yang berarti sebagian ada dan sebagian tidak ada. Idealisme Hegel baru akan sampai ke taraf yang paripurna bila roh subjektif dan Roh Objektif melakukan identifikasi timbal balik di dalam roh mutlak. Dan proses inilah yang dinamakan dengan proses Sejarah menurut Hegel.
Yunan_Syahpora

What to say about me? I have wonderful friends.I am passionate about teaching and creative expression.In my spare time, I read a lot of Interest Book, love TV, IT gossip, movies and most of all is football. I'm blessed with an amazing family and close friends.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama